Publikasi/Pengundangan
Sosialisasi
Masukan Untuk RUU tentang Hak Cipta


- Perlu ada ketegasan konsep bahwa Hak Cipta adalah perlindungan terhadap Pencipta, sebagaimana filosofi dan sejarah istilah Hak Cipta itu sendiri.
- Perlu ditegaskan pula perbedaan konsep antara Hak Cipta (author’s right) dengan hak memperbanyak (copyright), sehingga UU Hak Cipta justru nantinya tidak akan mengalienasi hak-hak Pencipta. Sistem hukum Indonesia mengadopsi sistem Civil Law yang bersumber dari tradisi hukum Eropa Kontinental yang telah memberikan kritik terhadap konsep Copyright Inggris yang menurut sejarahnya memang melindungi industri dan tidak menitik beratkan pada hak-hak Pencipta
- Perlu ketegasan bahwa Hak Cipta (Hak Pencipta/author’s right) tidak dapat dialienasikan dari Pencipta karena dalam aliran monisme hukum Jerman, hak ekonomi dan hak moral tidak dapat dipisahkan. Sedangkan hak moral itu sendiri melekat pada pribadi Pencipta. Ia bersifat abadi.
- Perlu ada kejelasan tentang konsep pengumuman (publication/publishing). Harus dibedakan dengan tegas antara pengumuman dan pendistribusian atau penjualan atau penyewaan. Pengumuman harus dimaknai bahwa suatu karya cipta dapat didengar (musical works), dibaca (literary works) dan dilihat (visual works). Catatan: US Copyright Law membedakan bentuk-bentuk pengumuman atas karya cipta. Misalnya publikasi atas sound recording diatur secara tegas dalam pengertian sbb: “publication is the distribution of copies or phonorecords of a work to the public by sale or other transfer of ownership, or by rental, lease, or lending”. Sedangkan mengumumkan dalam arti to perform dimaknai sbb: “(1) to perform or display it at a place open to the public or at any place where a substantial number of persons outside of a normal circle of a family and its social acquaintances is gathered; or (2) to transmit or otherwise communicate a performance or display of the work to a place specified by clause (1) or to the public, by means of any device or process, whether the members of the public capable of receiving the per-formance or display receive it in the same place or in separate places and at the same time or at different times”.
- Dalam konteks karya musik, perlu ada pembedaan yang jelas antara karya cipta (works) dengan karya rekaman (sound recording atau phonograms). Karya cipta (works) selamanya melekat pada Pencipta, sedangkan sound recording merupakan hak yang diberikan kepada song publishers, producers, dan performers. Di dalam karya rekaman terkandung Hak Cipta atas karya cipta musik (musical works) yang bersangkutan.Catatan: Dalam dimensi internasional terdapat Konvensi yang berbeda berkenaan dengan Hak Cipta dan Hak Terkait. Hak Cipta disepakati dalam Berne Convention. Sedangkan Hak Terkait disepakati dalam Rome Convention dan WIPO Performances and Phonograms Treaty (Dec 20, 1996).
- Dalam konteks karya tulis (literary works) perlu ada ketegasan bahwa selamanya Pencipta mempunyai hak atas naskahnya (literary works) dan turutannya, sedangkan kepada book publishers atau penerbit dapat diberikan hak memperbanyak (copyright) atas buku yang bersangkutan. Dengan demikian ada perbedaan yang jelas antara naskah dan turutannya yang selamanya menjadi hak Pencipta, dan buku yang bisa saja copyrightnya dimiliki oleh Penerbit buku yang bersangkutan.
- Dalam karya visual (visual works) harus dibedakan dengan tegas karya dua dimensi (graphical atau pictorial works) dan tiga dimensi (three dimensional works). Kedua macam bentuk itu jelas memiliki karakteristik tersendiri dalam perbanyakan (copying) dan pengumumannya (publishing). Misalnya, pengumuman (memperlihatkan) karya tiga dimensi oleh pemiliknya dalam suatu pameran atau pemajangan di ruang publik tidak memerlukan ijin Pencipta, karena sifat karya itu sendiri yang bersifat tunggal. Adapun perbanyakan (copy) dalam bentuk miniatur, atau merchandise, atau perbanyakan dengan bahan yang berbeda harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari Penciptanya. Intinya, harus ada pengaturan yang spesifik terhadap karya visual dalam hal perbanyakan (copying) dan pengumuman (publishing), sehingga tidak rancu dengan perbanyakan dan pengumuman atas karya tulis dan karya musikal yang memang memiliki karakteristik yang berbeda. Artinya, dalam UU Hak Cipta harus diatur secara lebih rinci dan spesifik berkenaan dengan perbanyakan dan pengumuman karya cipta sesuai dengan bentuknya (literary, musical, dan visual/graphical/pictorial/three dimensional). Hal ini untuk menghindari pemahaman yang keliru tentang perbanyakan dan pengumuman itu sendiri. Misalnya, perbanyakan atas karya tulis tentu sangat berbeda dan karenanya harus dibedakan dengan perbanyakan atas karya tiga dimensi. Pengumuman (performing atau penyiaran) atas karya musik tentu berbeda dan karenanya harus dibedakan dengan pengumuman atas karya tulis. Demikian seterusnya.
- Perlu ada ketegasan pula tentang hak-hak personal dari orang-orang yang wajahnya terpampang dalam karya cipta pictorial works. Perlu ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak (hak asasi) atas privasi dan integritas atas dirinya sendiri, sehingga pengumuman dan perbanyakan karya visual berupa potret (portrait) harus lebih rinci dan jelas. Intinya, hak-hak seseorang atas privasi dan integritas dirinya harus dilindungi pula dalam kerangka Hak Cipta atas potret. Hal ini untuk menghindarkan kemungkinan perbanyakan dan pengumuman yang merugikan hak-hak pribadi seseorang.
- Ketentuan Hak Cipta yang bersifat individual hendaknya tidak dicampuradukkan dengan hak-hak yang bersifat komunal dari masyarakat pemangku warisan budaya, sehingga pengaturan tentang folklore harus dikeluarkan dari UU Hak Cipta. Sebaiknya pengaturan tentang perlindungan atas warisan budaya dalam bentuk traditional cultural expressions diatur dalam UU tersendiri, diluar UU Hak Cipta. Tetapi di dalam UU Hak Cipta dimungkinkan untuk mengatur hak-hak individual seorang atau beberapa orang pelaku (performers) yang menampilkan karya budaya dalam bentuknya yang dikemas secara kreatif dan original (khas sebagai penampilan pelaku yang bersangkutan). Misalnya seseorang yang menampilkan Tari Legong atau Gambyong, ia memiliki hak individual atas penampilannya itu dalam bentuk performing rights. Adapun berkenaan dengan konteks benefit sharing (misalnya jika itu dikehendaki), hal itu tidak perlu diatur dalam UU Hak Cipta, melainkan diatur dalam UU tersendiri yang mengatur tentang pemanfaatan warisan budaya.Misalnya bentuk rumusannya adalah sbb: “Pelaku yang menampilkan karya seni budaya tradisional mempunyai hak untuk mengijinkan atau melarang pihak lain menampilkan kembali penampilannya tersebut atau memperbanyak dalam bentuk apapun.”
- Sebaiknya sistem pendaftaran (registration) digantikan dengan istilah pencatatan. Registration itu hanya untuk hak yang diberikan oleh Negara, sebagaimana dalam sistem paten dan merek. Hal ini untuk menghindari kesalahpahaman seolah-olah pendaftaran itu memberikan hak cipta kepada pendaftar. Padahal hak cipta lahir secara otomatis dan hanya diberikan kepada Pencipta, tidak kepada yang lainnya. Ketentuan administratif tentang pencatatan itu nantinya dituangkan dalam peraturan pelaksanaan yang tidak menimbulkan misinterpretasi bahwa seolah-olah pencatatan adalah bentuk pengesahan atas hak cipta.
- Jika akan mengkriminalisasi pelanggaran Hak Cipta, sebaiknya deliknya dijadikan delik aduan. Hal ini mengingat Pencipta memiliki hak untuk mengijinkan dan melarang pihak lain menggunakan, sehingga terserah Pencipta pula hendak mengambil tindakan apa terhadap pihak yang dianggap melanggar haknya.
- Pembatasan Hak Cipta harus dituangkan secara tegas. Terutama pembatasan yang berkaitan dengan penggunaan karya cipta untuk pendidikan. Tidak pada tempatnya misalnya memberikan royalti kepada Penerbit yang dipungut dari perpustakaan. Doktrin fair use itu sendiri munculnya memang dalam kaitan penggunaan ciptaan untuk kepentingan pendidikan. Dalam UU Hak Cipta harus ditegaskan bahwa perlindungan Hak Cipta hanya diberlakukan dalam ranah komersial, tidak pada ranah pendidikan. Ingat bahwa Indonesia tidak menganut paham kapitalisme yang memberikan perlindungan terhadap kepentingan kapitalis. Justru dalam UUD 45 dengan tegas dinyatakan bahwa salah satu tugas Negara adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Memberikan ruang kepada collecting society untuk memungut royalti dari perpustakaan adalah sebuah pengkhianatan sangat transparan terhadap dasar falsafah Negara.
- Dalam penyusunan RUU hendaknya dilakukan secara profesional dan bukan karena tuntutan penyelesaian jadwal proyek. Seidmann telah memberikan contoh atau metode yang baik dalam menyusun RUU dengan apa yang disebutnya sebagai ROCCIPI Test. Metode ini dapat digunakan untuk meminimalisir kesalahan dalam penyusunan norma-norma hukum dalam pasal-pasal UU. Tidak ada salahnya para penyusun RUU memanfaatkan ROCCIPI Test untuk menghindarkan diri dari kesalahan yang berujung pada penderitaan rakyat yang akan terkena dampak pemberlakuan UU yang salah. Mungkin dengan ROCCIPI Test penyusunan RUU menjadi lebih lama dan memakan waktu. Tetapi apakah penyusunan UU dapat dilakukan dengan asal-asalan? UU adalah sumber hukum. Apabila ia dibuat dengan tidak hati-hati dan tidak dengan pemikiran yang komprehensif, maka UU itu justru berpotensi menimbulkan masalah dan bukan menyelesaikan masalah.
- Last but not least. Penyusun RUU (legislative drafter) adalah profesional yang sedang menjalankan profesinya untuk kepentingan kliennya. Klien legislative drafter adalah rakyat yang akan terkena dampak pembentukan UU yang bersangkutan. Drafter walaupun secara struktural ditugaskan oleh atasan, namun mereka (atasan itu) bukan majikan para drafter. Drafter harus mempertanggungjawabkan tugas profesionalnya kepada rakyat, bukan kepada atasannya. Oleh karena itu jika drafter tidak mengakomodasi kepentingan rakyat banyak melainkan lebih mengakomodasi kepentingan sponsor atau kaum pemodal apalagi kepentingan asing, maka sejatinya drafter itu telah berkhianat kepada rakyatnya. ***
Prof. Dr. Agus Sardjono, SH.,MH
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Kampus UI, Depok 16424
Link Terkait:
- Masukan Untuk RUU tentang Paten
- Masukan Terhadap RUU tentang Perampasan Aset
- Sosialisasi RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Pidana Anak
- Sosialisasi RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Pidana Anak
- Sosialisasi RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Pidana Anak
- Sosialisasi RUU tentang Pengadilan Pidana Anak
- Sosialisasi RUU Sistem Peradilan Pidana Anak
- Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
- Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Usaha Perseorangan Dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum
- Sosialisasi RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana
- Sosialisasi RUU tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum
- Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Perkumpulan
- Sosialisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
- Sosialisasi RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
- Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Landas Kontinen Indonesia
- Sosialisasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana
Komentar
Saya tertarik pada point 11 tentang perubahan delik biasa menjadi delik aduan atas kasus pelanggaran HKI. Saya bukanlah orang yang paham tentang hal masalah ini namun bukannya klo diubah dari delik biasa ke delik aduan akan mempersulit penanggulangan pelanggaran HKI? karena harus ada aduan dari masyarakat atau pihak yang dirugikan terlebih dahulu agar dapat ditindak lanjuti? bukankah hal ini akan membuat ke pasifan pada penegakan hukum atas tindak pelanggaran HKI ya prof?
Mohon penjelasan dari Prof?
Terima Kasih
RSS feed for comments to this post.