

1. Pasal 29 RUU Paten - Syarat Kebaharuan
Mencantumkan kewajiban Disclosure of Origin dan Evidence of Prior Informed Consent di dalam proses pendaftaran paten
Pemohon yang invensinya menggunakan atau berasal dari pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan sumber daya genetika, wajib mencantumkan asal invensi yang diajukan disertai dengan bukti ijin dari pihak pemegang pengetahuan tradisional tersebut. Kewajiban ini sudah banyak dicantumkan di dalam UU Paten negara-negara berkembang yang tergolong sebagai negara kaya sumber daya hayati (Mega Diverse Countries). Disamping itu, pengaturan kewajiban tersebut di dalam UU Paten Indonesia memiliki arti yang sangat strategis untuk mencegah terjadinya biopiracy yang didasarkan pada pengetahuan tradisional baik dari Indonesia maupun dari negara-negara lainnya. Secara umum, kewajiban disclosure of origin dan evidence of prior informed consent sangat bermanfaat dan dapat membantu para pemeriksa paten untuk:
a. menilai syarat-syarat kebaharuan, langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri;
b. menentukan inventor (inventorship) dan kepemilikan (ownership) invensi yang sedang diajukan permohonannya.
c. menjadikannya sebagai pembuktian terhadap pembayaran biaya-biaya tertentu.
Namun demikian, pengaturan ini juga dampak berdampak negatif jika digunakan sebagai alasan untuk menolak pemberian paten atas dasar invensi tersebut berasal dari pengetahuan tradisional tanpa memperhatikan dan menguji syarat-syarat paten (baru, langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri). Pertama, kebijakan tersebut dapat dianggap bertentangan atau tidak konsisten dengan perjanjian TRIPS. Pasal 27.1 menyatakan bahwa paten diperuntukkan untuk semua jenis invensi baik dalam bentuk produk dan proses di semua lapangan teknologi dengan memperhatikan syarat kebaharuan, langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri. Kedua, kebijakan tersebut juga bertentangan dengan Pasal 62.1 Perjanjian TRIPS yang mensyaratkan bahwa perolehan hak kekayaan intelektual harus masuk akal dan konsisten dengan keseluruhan ketentuan yang terdapat di dalam Perjanjian TRIPS.
Untuk mencegah hal tersebut, pengaturan tentang disclosure of origin dan evidence of prior informed consent perlu diatur sebagai berikut:
a. Kewajiban tersebut dilaksanakan pada saat pemeriksaan substantif;
b. Kewajiban tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan syarat kebaharuan;
c. Kewajiban tersebut perlu dilengkapi dengan dokumen atau data base sehingga dapat dikategorikan sebagai non-literatur paten.
Mengatur Secara Eksplisit Pengetahuan Tradisional Sebagai Bagian Dari Literatur Paten.
Pengajuan invensi yang didasarkan pada pengetahuan tradisional dan sumber daya genetika oleh inventor asing yang berasal dari negara-negara maju dapat mendatangkan masalah di kemudian hari, tak terkecuali kantor HKI Indonesia. Untuk mengatasi dampak negatif yang diakibatkan oleh pengajuan paten terhadap invensi yang didasarkan pada pengetahuan tradisional dan sumber daya genetika, pemerintah Indonesia perlu melakukan pengkajian terhadap peraturan-peraturan HKI yang memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan masalah tersebut, yaitu hukum paten.
Pemerintah belum menyatakan secara tegas mengenai pengetahuan tradisional dan sumber daya genetika, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, sebagai salah satu unsur untuk menentukan kebaharuan dari sebuah invensi di dalam UU Paten Indonesia. Dari ketiga syarat perolehan paten (kebaharuan, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri), syarat kebaharuan merupakan salah satu syarat yang sangat strategis untuk menentukan apakah sebuah invensi yang diajukan tersebut dapat diterima ataukah tidak. Berdasarkan beberapa kasus yang ditemui di negara Amerika Serikat dan Uni Eropa, kasus lolosnya invensi yang berkaitan dengan pengetahuan tradisional dan sumber daya genetika disebabkan terutama karena pengetahuan tradisional dan sumber daya genetika, baik yang tertulis maupun tidak, belum dijadikan sebagai prior art di dalam sistim hukum paten.
Dari beberapa pasal yang terdapat di dalam UU Paten Indonesia, tidak ada satu pasalpun yang mengatur secara khusus dan menyebut secara tegas mengenai pengetahuan tradisional. Namun demikian, ada satu pasal beserta dengan penjelasannya yang memiliki keterkaitan erat dengan pengetahuan tradisional, yaitu Pasal 3.
Pasal 3 mengatur bahwa:
1) Suatu invensi dianggap baru jika pada tanggal penerimaan, invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya.
Selanjutnya dalam penjelesan Pasal 3 Ayat (1) dinyatakan bahwa :
Padanan istilah teknologi yang diungkapkan sebelumnya adalah state of the art atau prior art, yang mencakup baik literatur paten mapupun bukan literatur paten
Pasal 3 beserta dengan penjelasannya menyiratkan arti bahwa untuk menentukan apakah sebuah invensi memenuhi persyaratan baru ataukah tidak, ditentukan oleh dua indikator yaitu literatur paten dan bukan literatur paten. Yang dimaksud dengan literatur paten adalah dokumen paten secara tertulis baik dari kantor HKI Indonesia maupun bentuk dokumen tertulis dari kantor HKI yang berasal dari negara lain yang dimiliki Indonesia atau website kantor HKI negara lain dan WIPO yang bisa diakses melalui internet. Yang menjadi permasalahan dari bunyi Pasal 3 dan penjelasannya adalah berkaitan dengan kata “bukan literatur paten”.
Penafsiran terhadap kata tersebut yang kebetulan tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UU Paten Indonesia, dapat menjadi sangat luas. Jika kata-kata “ bukan literatur paten” ditafsirkan mencakup pengetahuan tradisional, invensi yang sedang diperiksa yang memiliki persamaan dengan pengetahuan tradisional yang dikenal di Indonesia dan di negara-negara lainnya, akan ditolak oleh pemeriksa paten karena tidak memenuhi persyaratan kebaharuan. Sebaliknya, jika pemeriksa paten menganggap bahwa pengetahuan tradisional tidak termasuk prior art, invensi yang berkaitan erat dengan pengetahuan tradisional dianggap memenuhi syarat kebaharuan, sepanjang tidak sama dengan prior art yang lain.
Dengan penafsiran yang demikian, bukan sesuatu yang mustahil apabila kasus – kasus yang terjadi di kantor Paten AS dan Uni Eropa juga terjadi di Indonesia dimana masyarakat yang dirugikan karena pemberian paten (baik di Indonesia dan di luar Indonesia) meminta untuk membatalkan pemberian paten tersebut.
Merujuk kepada maraknya pengajuan permohonan paten yang didasarkan pada pengetahuan tradisional di negara-negara maju, Pasal 3 dan penjelasannya yang memuat kata-kata “ bukan literatur paten” dapat mencakup database tentang pengetahuan tradisional dan selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk menilai tingkat kebaharuan sebuah invensi yang diajukan di kantor HKI Indonesia.
2. Pasal 33 RUU Paten - Pengecualian Paten (patentable subject matters)
a. Paten untuk makhluk hidup (Pasal 33.d-RUU Paten) sebaiknya diatur secara dinamis untuk menampung dan melindungi perkembangan bioteknologi yang sangat bermanfaat di masa yang akan datang, misalnya invensi tentang sel punca (stem cells) untuk pengobatan berbagai penyakit kronis seperti, diabetes, jantung dan kanker.
b. Perlu diperjelas dengan bahasa yang eksplisit bahwa paten untuk varietas tanaman (Pasal 33.e-RUU Paten) hanya terkait dengan proses, bukan varietas tanaman itu sendiri.
c. Pencantuman aturan dan metode tentang program komputer sebagai hal yang tidak dapat dipatenkan (Pasal 33.i-RUU Paten), sebaiknya juga menyebutkan secara tegas tentang metode bisnis. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya bad patents.
3. Pasal 41 RUU Paten - Pemakai Terdahulu
Perlu ada penjelasan bahwa pemakai terdahulu hanya boleh melaksanakan untuk diri sendiri namun tidak memiliki hak eksklusif terhadap invensi yang digunakannya sebagaimana halnya yang dimiliki oleh pemegang paten.
4. Pasal 86 RUU Paten - Lisensi Wajib seperti diamanatkan oleh Amandemen TRIPS Tahun 2005.
Naomi A. Bass berbendapat bahwa lisensi wajib adalah strategi yang sangat efektif bagi negara-negara berkembang untuk mendapatkan akses obat yang lebih murah dan terjangkau. Berdasarkan hasil penelitian, lisensi wajib dapat menurunkan harga obat sekitar75%.
Pasca Doha Declaration pada tahun 2001, perkembangan peraturan mengenai lisensi wajib yang bersumber pada Pasal 31 Perjanjian TRIPS sangat lah pesat dan belum tertampung di dalam UU Paten Indonesia Tahun 2001.
Pasal 31 (f) perjanjian TRIPS yang lama hanya mengijinkan produksi obat berdasarkan lisensi wajib untuk keperluan pasar domestik. Peraturan ini dianggap menyulitkan posisi negara-negara yang tidak atau kurang memiliki kemampuan untuk memproduksi obat sendiri. Akibatnya, keluarlah keputusan dari Dewan Umum TRIPS untuk mengijinkan negara-negara yang mampu memproduksi obat untuk mengekspor obat tersebut ke negara-negara yang tidak memiliki kemampuan memproduksi obat pada tahun 2003. Kesepakatan yang dibuat berdasarkan keputusan Dewan umum TRIPS tanggal 30 Agustus 2003 tersebut merupakan dasar hukum yang kuat untuk melaksanakan lisensi wajib di negara-negara terbelakang yang tidak mempunyai atau kurang mempunyai kemampuan dalam memproduksi obat atau disebut keputusan tentang pelaksanaan Paragraf 6 Dekalarasi Doha. Pada tahun 2005, anggota WTO sepakat untuk memperkuat keputusan tahun 2003 dengan mengamandemen perjanjian TRIPS.
Ada dua pasal yang ditambahkan di dalam perjanjian TRIPS berdasarkan keputusan negara-negara WTO, yaitu:
a. Penambahan pasal 31 bis sesudah pasal 31 di perjanjian TRIPS yang lama.
Pasal ini berisikan ketentuan secara umum mengenai cara melaksanakan lisensi wajib baik bagi negara pengimpor maupun bagi negara pengekspor. Ketentuannya tidak jauh berbeda dengan Keputusan Dewan Umum TRIPS tahun 2003. Salah satu ketentuan yang sangat penting dari pasal 31 bis adalah terkait dengan remuneration atau pembayaran royalti kepada pemegang paten yang patennya digunakan untuk memproduksi obat berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam sistim paragraf 6.
b. Penambahan annex sesudah pasal 73 perjanjian TRIPS yang lama.
Sampai dengan dikeluarkannya amandemen perjanjian TRIPS, tercatat sudah ada 3 negara yang menyatakan bahwa hukum nasional mereka telah siap melaksanakan ketentuan dalam sistim paragraf 6, yaitu Norwegia, Kanada dan India. Sedangkan negara-negara lainnya seperti Korea dan Uni Eropa sedang menunggu pemberlakuan uu nasional yang akan mendukung pelaksanaan lisensi wajib untuk keperluan pasar non-domestik. Sekelompok negara maju mengumumkan bahwa mereka tidak akan menggunakan sistim paragraph 6 untuk mengimpor obat.
Sedangkan kelompok negara lainnya seperti, Hong Kong China, Israel, Korea, Kuwait, Macao China, Meksiko, Qatar, Singapura, China Taipei, Turki dan Uni Emirat Arab mengumumkan bahwa mereka menggunakan sistim paragraph 6 hanya untuk keadaan darurat dan sangat sangat mendesak di sektor kesehatan masyarakat.
Lisensi wajib yang diatur di dalam UU Paten Indonesia berisi ketentuan bahwa otoritas publik (dalam hal ini adalah Diten HaKI) dapat mengijinkan pihak ketiga tanpa ijin pemegang paten untuk memproduksi invensi pemegang paten. Pemberian ijin ini dapat dilakukan berdasarkan persyaratan tertentu seperti adanya keadaan yang mendesak di bidang kesehatan masyarakat. Lisensi wajib juga dimaksudkan untuk melindungi kepentingan publik dari dampak negatif perlindungan paten obat. UU Paten Indonesia tahun 2001 mengatur lisensi wajib di dalam Pasal 74-87. Lisensi wajib diberikan oleh Direktorat jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
Pasal 31 perjanjian TRIPS mengijinkan anggota WTO untuk menggunakan paten tanpa ijin dari pemegang hak, termasuk pelaksanaan paten oleh pemerintah atau pihak ketiga yang diijinkan oleh pemerintah. Peraturan mengenai lisensi wajib di dalam UU Paten Indonesia memenuhi semua persyaratan yang diperintahkan oleh perjanjian TRIPS, seperti para pemohon lisensi wajib harus memohon kepada pemegang paten untuk mendapatkan lisensi tetapi tidak berhasil (Pasal 76 [1. a.3] UU Paten Indonesia), konsisten dengan Pasal 31 (b) perjanjian TRIPS. Beberapa aspek dari UU Paten tahun 2001 juga sesuai dengan pasal-pasal yang ada di dalam perjanjian TRIPS. Sebagai contoh, Pasal 76, 77, 80, 83, 84 dan 85 yang mengatur mengenai proses pemberian lisensi wajib adalah konsisten dengan Pasal 31 (g) TRIPS.
Lisensi wajib harus dalam bentuk non-eksklusif (Pasal 79 [a]), lisensi wajib adalah hanya untuk pasar domestik (Pasal 79 [g]) dan pembayaran royalti yang sesuai (Pasal 78 [Ayat.1]) adalah contoh pasal-pasal yang sesuai dengan ketentuan Pasal 31 (d), (f) and (h) perjanjian TRIPS. Ketentuan-ketentuan ini menunjukan bahwa peraturan mengenai lisensi wajib Indonesia sesuai dengan perjanjian TRIPS.
Meskipun demikian, ketentuan lisensi wajib yang terdapat di dalam UU Paten 2001 belum mengatur tentang ketentuan terbaru tentang lisensi wajib yang termuat di dalam amandemen tahun 2003 dan amandemen Perjanjian TRIPS pada tahun 2005. Beberapa hal yang belum diatur secara eksplisit di dalam UU Paten 2001, diantaranya adalah:
a. Lisensi wajib Indonesia belum menjelaskan secara detail mengenai dasar hukum pemberian lisensi wajib seperti penyakit yang bersifat epidemik, atau krisis kesehatan (misalnya HIV/AIDS, TBC dan Malaria). Akibatnya, lisensi wajib hanya dibatasi terhadap alasan kepentingan umum serta tidak menjelaskan dengan khusus mengenai kategori kepentingan umum tersebut.
b. Pasal-pasal lisensi wajib di Indonesia tidak menjelaskan secara rinci mengenai kategori atau jumlah royalti yang seharusnya diberikan kepada para pemegang paten. Jika para pemegang paten menolak jumlah royalti yang akan dibayarkan kepada mereka, UU Paten Indonesia belum menyediakan peraturan mengenai upaya untuk bernegosiasi atau menuntut Ditjen HaKI selaku pemberi ijin pemberian lisensi wajib tersebut.
c. Seharusnya ada kriteria yang jelas mengenai jumlah pemberian royalti yang ditawarkan kepada para pemegang paten. Prosedur untuk menghitung jumlah royalti tersebut haruslah adil dan tidak bersifat diskriminatif bagi para pemegang paten, yang diatur di dalam uu paten maupun peraturan pelaksananya.
d. Prosedur dan mekanisme pengeksporan obat ke negara-negara yang belum memiliki kemampuan untuk memproduksi obat.
Secara umum, keempat hal tersebut telah diatur di dalam RUU Paten Indonesia yang terbaru, terutama Pasal 91 dan Pasal 93. Namun demikian, RUU Paten tersebut tidak menyebutkan secara eksplisit jenis obat-obatan yang sangat diperlukan dan jenis penyakit yang dapat digolongkan sebagai endemik.
5. Pasal 117 RUU Paten - Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah
Pelaksanaan Paten oleh pemerintah adalah sebuah keputusan yang mengijinkan pemerintah untuk memproduksi paten tertentu yang dimiliki oleh pemegang paten untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara dan situasi mendesak di bidang kesehatan masyarakat berdasarkan kepentingan masyarakat umum. Government use diatur di dalam Bab VII UU Paten Indonesia mulai Pasal 99 sampai dengan Pasal 103. Penjelasan Pasal 99 menerangkan bahwa contoh-contoh invensi yang sangat penting bagi pertahaann dan keamanan negara adalah bahan-bahan peledak, senjata dan amunisi. Sedangkan contoh-contoh kepentingan umum yang mendesak diantaranya adalah kebijakan untuk mengatasi penyakit endemik, dan situasi mendesak akan pestisida tertentu dikarenakan bencana gagal panen.
Seperti halnya konsep lisensi wajib, government use dibenarkan oleh Pasal 31 Perjanjian TRIPS. Pasal tersebut mengijinkan anggota WTO untuk menggunakan paten tanpa ijin dari pemegang paten berdasarkan kondisi-kondisi tertentu, misalnya perlindungan terhadap kepentingan umum. TRIPS juga mensyaratkan bahwa bentuk permohonan terhadap government use harus bersifat lisensi non-eksklusif, adanya ganti kerugian yang layak (royalti) kepada pemegang paten serta adanya badan atau otoritas yang meninjau ulang pelaksanaan melalui sebuah mekanisme hukum yang independen.
Government use berbeda dengan lisensi wajib karena government use tidak mensyaratkan adanya usaha awal untuk memohon pelaksanaan paten seseorang seperti halnya yang disyaratkan terhadap lisensi wajib. Syarat tersebut dimasukkan ke dalam government use oleh perjanjian TRIPS karena government use hanya berhubungan dengan keadaan darurat dan mendesak. Meskipun demikian, pemerintah perlu memberitahukan rencana untuk melaksanakan government use kepada pemegang paten.
Pasal 99-101 UU Paten Indonesia memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan oleh perjanjian TRIPS. Sebagai contoh, Pasal 101 mewajibkan pemerintah untuk memberitahukan rencana pelaksanaan government use kepada pemegang paten. Pasal 101 ayat 2 mengatur ganti kerugian kepada pemegang paten seperti halnya diatur dalam Pasal 31 TRIPS. Pasal 102 ayat 2 UU Paten Indonesia mengijinkan pemegang paten untuk tidak mneyetujui pemberian jumlah royalti yang ditawarkan oleh pemerintah. Para pemegang paten yang tidak puas dengan jumlah tersebut dapat mengajukan keberatannya kepada Pengadilan Niaga. Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 31 b (i) Perjanjian TRIPS yang mengatur mengenai adanya lembaga yang akan meninjau berbagai kebijakan di seputar pelaksanaan paten oleh pemerintah dan bersifat independen. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, peraturan mengenai pelaksanaan paten oleh pemerintah Indonesia sejalan dengan ketentuan yang terdapat di dalam perjanjian TRIPS.
Kritik dan Saran terhadap peraturan government use di Indonesia berdasarkan perspektif TRIPS
Paparan berikut ini adalah beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki peraturan government use di Indonesia:
a. Definisi ganti kerugian yang mencukupi seperti diatur di dalam Pasal 101 ayat 2 UU Paten Indonesia belumlah memadai. Pemerintah seharusnya menyediakan prosedur negosiasi atau banding yang lebih jelas terhadap keberatan pemegang paten berkaitan dengan royalti yang diusulkan.
b. Pasal 102 Ayat 2 mengijinkan pemegang paten untuk mengajukan keberatannya terhadap jumlah royalti yang diusulkan oleh pemerintah dan membawa permasalahan tersebut ke Pengadilan Niaga. Pasal tersebut juga harus berisikan ketentuan mengenai banding atau kasasi apabila pemegang paten kalah di Pengadilan Niaga. Sebagai alternatif, jika pemerintah memutuskan bahwa tidak ada banding atau kasasi terhadap keputusan Pengadilan Niaga berkenaan dengan keberatan pemegang paten terhadap jumlah royalti yang tidak sesuai, pemerintah seharusnya menyatakan hal tersebut secara jelas di dalam UU Paten Indonesia.
6. Pasal 132 RUU Paten - Penetapan Sementara Pengadilan
Perlu diatur secara eksplisit kapan dan dimana penetapan sementara pengadilan dapat dilakukan jika keadaan sangat mendesak dan memerlukan tindakan segera dari Pengadilan untuk mengeluarkan surat penetapan sementara pengadilan. Hal ini perlu dilakukan untuk memenuhi persyaratan penetapan sementara yang bersifat segera dan efektif seperti diamanatkan oleh perjanjian TRIPS.
7. Pasal 139 (a) RUU Paten - Impor Paralel
Impor paralel diatur di dalam Pasal 135 (a) UU Paten tahun 2001. Impor paralel didefinisikan sebagai importasi sebuah produk farmasi yang telah dipatenkan dan dipasarkan di negara lain. Berdasarkan ketentuan tersebut, import paralel dianggap sebagai sebuah perbuatan yang legal. Tujuan utama pengaturan impor paralel di Indonesia adalah untuk mendapatkan akses yang lebih baik terhadap obat yang lebih murah dan terjangkau. Penggunaan impor paralel tergantung kepada kebijakan pemerintah untuk mendukung ketersediaan dan keterjangkauan obat bagi masyarakat luas (Pasal 135 [a]). Impor paralel yang diatur di dalam UU Paten Indonesia ditujukan pada produk-produk farmasi yang telah dipasarkan dengan harga yang melampaui harga pasar internasional.
Berdasarkan perspektif perjanjian TRIPS, peraturan impor paralel yang terdapat di dalam UU Paten Indonesia sudah sesuai dengan standard internasional. Melalui peraturan domestik Indonesia, pemerintah mengijinkan terjadinya importasi ke Indonesian tanpa ijin dari pemegang paten dengan dasar teori pelepasan (theory of exhaustion). Pasal 135 (a) UU Paten Indonesia mengijinkan terjadinya impor paralel dengan dua syarat 1) pengimporan harus dilakukan secara sah dan 2) produk yang akan dijadikan target impor paralel adalah produk yang terbukti relatif lebih mahal dibandingkan dengan produk yang sama di pasar internasional.
Pemerintah Indonesia juga mensyaratkan beberapa aspek penting untuk dipertimbangkan sebelum mengijinkan impor parallel. Pertama, pengimporan harus sesuai dengan peraturan mengenai importasi di tingkat nasional dan internasional. Sebaliknya, importasi yang dilakukan secara melawan hukum dilarang oleh Pasal 135 (a) UU Paten Indonesia. Kedua, pelaksanaan impor paralel hanya dikenakan terhadap produk farmasi yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan produk serupa di pasar internasional atau di negara-negara lain. Dengan kata lain, impor paralel tidak diperuntukkan untuk semua jenis produk farmasi yang beredar secara luas di pasar nasional dan internasional.
Kritik dan saran terhadap peraturan impor paralel Indonesia.
Peraturan impor paralel Indonesia sangat umum dan memungkinkan terjadinya multi interpretasi. Saran-saran berikut ini akan memperbaiki peraturan tersebut yang akan difokuskan pada beberapa hal, diantaranya adalah penjelasan secara rinci tentang aktivitas yang tercakup di dalam impor paralel dan peran serta tanggung jawab institusi yang akan melaksanakan impor paralel tersebut.
a. Peninjauan ulang terhadap institusi yang terlibat
Peraturan impor paralel Indonesia tidak menyebutkan secara jelas institusi mana yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan impor paralel. Apakah pelaksanaannya akan dilaksanakan oleh Departemen Perdagangan, koordinasi antara Departemen perdagangan dan Dinas Bea Cukai, atau melibatkan kerjasama intra departemen yang lebih luas, misalnya koalisi khusus dari kedua departemen tersebut dan ditambah dengan institusi lain yang terkait, seperti Departemen Kesehatan dan Ditjen HaKI.
b. Penjelasan secara spesifik tentang impor paralel
Pasal 135 (a) tidak menjelaskan secara detail tentang prosedur dan persyaratan administrasi dan teknis dari impor paralel. Sebagai contoh, apakah untuk melaksanakan impor paralel diperlukan persyaratan tambahan selain persyaratan importasi secara umum?
c. Target impor paralel
Untuk memaksimalkan fungsi impor paralel, pemerintah seharusnya menjelaskan prosedur tentang produk farmasi yang menjadi prioitas/target impor paralel. Selain itu, pemerintah juga perlu membuat daftar jenis obat yang menjadi target tersebut berikut dengan perlindungan yang akan diberikan terhadap pemegang paten dari produk obat tersebut.
8. Pasal 139 (b) RUU Paten - Revisi Peraturan tentang Bolar Provision
Bolar provisions diatur di dalam Pasal 135 (b) UU Paten Indonesia tahun 2001. Pasal tersebut mengijinkan perusahaan yang ada di Indonesia untuk menyiapkan pembuatan obat generik untuk obat yang sudah dipatenkan, dua tahun sebelum perlindungan paten obat tersebut berakhir. Bolar provision juga mengijinkan perusahaan generik lokal untuk melakukan pengujian dan mempersiapakan produksi versi generik dari obat yang dipatenkan dengan tujuan untuk mendapatkan ijin edar obat generik tersebut. Jika obat generik dapat dipasarkan secara efektif, obat tersebut dapat menurunkan harga obat paten yang terbukti lebih mahal dibandingkan versi generiknya. Pasal 135 (b) adalah bagian dari UU Paten Indonesia untuk meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan produk farmasi yang dibutuhkan oleh masyarakat luas.
Bolar provisions adalah salah satu pengecualian terbatas yang diijinkan oleh perjanjian TRIPS terhadap hak-hak eksklusif yang dimiliki oleh pemegang paten. Berdasarkan ketentuan Pasal 30 TRIPS, pengecualian seperti itu tidak dilarang sepanjang tidak bertentangan dengan pemanfaatan paten secara normal dan tidak bertentangan dengan kepentingan yang sah dari pemegang paten. Penggunaan obat-obatan melalui uji coba dan produksi obat tersebut, diperbolehkan hanya untuk kegiatan dan keperluan perolehan ijin edar dan bukan ditujukan untuk kepentingan komersial. Pertimbangan utama kebijakan tersebut karena obat yang diproduksi masih dalam taraf perlindungan paten. Dengan mentaati ketentuan ini, kegiatan yang tercakup di dalam bolar provisions tidak membahayakan kepentingan yang wajar dari pemegang paten. Oleh karena itu, peraturan bolar provision Indonesia sudah sesuai dengan perjanjian TRIPS.
Kritik dan saran terhadap penyempurnaan peraturan bolar provision di Indonesia berdasarkan perspektif perjanjian TRIPS
Peraturan mengenai bolar provisions di Indonesia belumlah jelas dan terperinci. Prosedur permohonan ijin edar tidak jelas. Apakah obat-obatan yang akan diproduksi versi generiknya melalui bolar provision akan menempuh prosedur permohonan yang sama dengan produksi obat-obatan lain di luar bolar provision atau harus menempuh prosedur yang lebih khusus? Jenis-jenis obat apakah yang dibutuhkan oleh pemerintah dan perlu diproduksi versi generiknya melalui bolar provision? Dikarenakan prosedurnya memakan waktu yang lama, apakah ada jalur khusus yang harus ditempuh oleh pemohon produksi obat generik berdasarkan ketentuan bolar provision? Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk memudahkan pelaksanaan bolar provison yang efektif dan mencapai sasaran di sektor kesehatan masyarakat. Pengaturan yang lebih jelas seperti yang akan dipaparkan berikut ini juga akan meminimalkan kemungkinan timbulnya konflik antar pemerintah Indonesia dengan perusahaan farmasi multinasional:
a. Permohonan bolar provision seharusnya dikontrol oleh pemerintah dengan dasar hukum dan ketentuan yang lebih jelas dan rinci. Peraturan ini termasuk mengenai prosedur untuk mencari ijin edar di Badan POM.
b. Pemerintah seharusnya juga menyediakan berbagai kebijakan yang berfungsi untuk melindungi kepentingan para pemegang paten dari tindakan penyalahgunaan peraturan bolar provision di Indonesia dengan membatasi pelaksanaan bolar provision hanya pada hal-hal yang bersifat administratif (ijin edar). Jika pelaksanaan bolar provision melebihi dari ketentuan tersebut, pemerintah harus mengatur mengenai sanksi yang akan diberikan baik kepada pihak ketiga maupun kepada para petugas yang terlibat dengan pelaksanaan bolar provision tersebut.
c. Pemerintah seharusnya memutuskan jenis-jenis obat apakah yang sangat diperlukan oleh masyarakat luas dan menajdi prioritas di dalam pelaksanaan bolar provision. Kebijakan ini harus didasarkan kepada pertimbangan untuk menyediakan obat yang murah dan terjangkau kepada masyarakat luas. Proses pemilihan obat-obatan yang diperlukan tersebut harus dilakukan secara transparan untuk mencegah penyalahgunaan bolar provision.
Link Terkait:
- Masukan Terhadap RUU tentang Perampasan Aset
- Masukan Untuk RUU tentang Hak Cipta
- Sosialisasi RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Pidana Anak
- Sosialisasi RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Pidana Anak
- Sosialisasi RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Pidana Anak
- Sosialisasi RUU tentang Pengadilan Pidana Anak
- Sosialisasi RUU Sistem Peradilan Pidana Anak
- Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
- Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Usaha Perseorangan Dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum
- Sosialisasi RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana
- Sosialisasi RUU tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum
- Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Perkumpulan
- Sosialisasi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
- Sosialisasi RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme
- Sosialisasi Rancangan Undang-Undang tentang Landas Kontinen Indonesia
- Sosialisasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana
Komentar
2. Bagaimana perkembangan proses RUU paten sampai saat ini (Mei 2010)?
RSS feed for comments to this post.