Kamis, 02 Agustus 2012
   
Text Size

Sidang Paripurna Terbuka Pengambilan Keputusan RUU Penetapan Perpu KPK

Rapat Paripurna DPR-RI yang salah satunya mengagendakan pendapat akhir fraksi-fraksi terhadap RUU tentang Penetapan  Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diselenggarakan pada  hari ini (Kamis, 4 Maret 2010) tetap menunjukkan bahwa sebanyak tujuh fraksi menolak dan dua fraksi lainnya menyatakan setuju atas diundangkannya perpu tersebut.

Rapat Paripurna tersebut, diawali laporan Ketua Komisi III (Benny Kabur Harman) yang didalam laporannya menyatakan dua fraksi yang setuju yaitu Fraksi Demokrat dan Fraksi PKB. Sementara 7 fraksi lainnya, yaitu Fraksi Golkar, PDIP, PAN, PPP, PKS, Gerindra, dan Hanura, menyatakan tidak dapat memberi persetujuan terhadap penetapan Perppu KPK menjadi UU.

Dalam laporannya Benny Kabur Harman menyimpulkan pandangan fraksi-fraksi di DPR sebagai berikut:

  1. Fraksi Partai Golkar dalam pendapat akhirnya menyatakan bahwa Perppu bukanlah sebuah alat untuk memberikan kewenangan kepada Presiden guna kemudian menghilangkan kewenangan lembaga negara lain. Dikeluarkannya Perppu No. 4 Tahun 2009 dengan alasan kekosongan pimpinan KPK bertentangan dengan Undang-Undang, karena prosedur dalam mengisi kekosongan pimpinan KPK telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, yaitu Presiden mengusulkan calon pengganti kepada DPR untuk kemudain dipilih oleh DPR. Oleh karena itu, Fraksi Golkar menyatakan menolak disahkannya RUU tentang Perppu tersebut menjadi Undang-Undang.
  2. Fraksi Hanura dalam pandangan akhirnya menyatakan dengan  aktifnya kembali Bibit Samad Ryanto dan Chandra M. Hamzah sebagai pimpinan KPK, dan dengan adanya Putusan MK Nomor 113/PUU-II/2009, maka secara yuridis, pertimbangan hukum pemerintah untuk menetapkan Perppu No. 4 Tahun 2009 sudah tidak ada lagi. Perppu itu sudah kehilangan konteks pijakan konstitusionalnya. Karena itu pula, Fraksi Hanura menolak RUU Penetapan Perppu No. 4 Tahun 2009 disahkan menjadi Undang-Undang.
  3. Fraksi PPP menyatakan bahwa Perppu No. 4 Tahun 2009 sudah tidak lagi relevan  karena kasus hukum yang menimpa Chandra dan Bibit sudah dihentikan oleh Kejaksaan Agung dengan dikeluarkannya SKKP, sehingga artinya bersangkutan telah diaktifkan kembali sebagai pimpinan KPK melalui Keputusan Presiden. Oleh karena itu, Fraksi PPP menyatakan tidak setuju RUU Perppu No. 4 Tahun 2009 disahkan menjadi Undang-Undang.
  4. Fraksi Demokrat dalam pendapat akhirnya menyatakan, penerbitan Perppu No. 4 Tahun 2009 tidak melampaui kewenangan Presiden di bidang hukum. Tidak berarti juga Presiden melakukan intervensi terhadap terhadap lembaga KPK dalam pemberantasan korupsi.
  5. Fraksi PAN dalam pendapat akhirnya menyatakan, penerbitan Perppu No. 4 Tahun 2009 berpotensi dapat melemahkan KPK dalam upaya memberantas korupsi, karena mempengaruhi independensi KPK. Fraksi PAN juga menilai keberadaan Perppu sudah tidak relevan dengan keadaan saat ini, karena KPK masih dapat menjalankan tugas dan kewenangannya, sehingga Fraksi PAN menyatakan menolak RUU Penetapan tersebut.
  6. Fraksi Gerindra dalam pendapat akhirnya menyatakan, sudah tidak terjadi lagi kekosongan di KPK dengan aktifnya kembali Chandra dan Bibit. Oleh karena itu, Fraksi Gerindra menyatakan menolak RUU Penetapan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
  7. Fraksi PDIP berpendapat bahwa dengan dikeluarkannya Perppu Nomor 4 Tahun 2009 telah memotong kewenangan DPR dalam melakukan fit and proper test terhadap calon pimpinan KPK. Oleh karena itu, Fraksi PDIP menolak RUU tersebut untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
  8. Fraksi PKB dalam pendapat akhirnya menyatakan bahwa pada waktu itu Perppu Nomor 4 Tahun 2009 diterbitkan karena ada kegentingan yang memaksa. Karena itu, Fraksi PKB menyatakan persetujuannya agar RUU Penetapan Perppu tersebut disahkan dan ditetapkan menjadi Undang-Undang.
  9. Fraksi PKS dalam pendapat akhirnya menyatakan, PKS tidak bisa menerima alasan hal ihwal kegentingan memaksa dalam penerbitan Perppu Nomor 4 Tahun 2009. Perppu tersebut berpotensi menimbulkan penyimpangan, karena otoritas lembaga kepresidenan menjadi dominan dalam penentuan pelaksana tugas pimpinan KPK. Oleh karena itu, Fraksi PKS menyatakan menolak RUU tersebut untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

Dalam kesempatan itu Ketua Komisi III DPR juga meminta pemerintah untuk segera mengajukan RUU tentang pencabutan Perpu dalam tenggat waktu sampai  masa sidang berikutnya.

Sedangkan dari pihak Pemerintah, Pendapat Akhir Presiden atas RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 dibacakan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patralis Akbar, yang mengemukakan bahwa sebagaimana diketahui bersama  RUU ini telah diselesaikan pembahasannya pada Pembicaraan Tingkat I dengan keputusan menolak atau tidak menyetujui RUU tentang Penetapan Perppu tersebut menjadi Undang-Undang.

Terhadap keputusan penolakan atau tidak disetujuinya Perppu tersebut, Pemerintah tetap menghargai sebagai sebuah keputusan politik yang dapat dipertanggungjawabkan kepada bangsa dan negara. Namun demikian, Pemerintah sepakat substansi Perppu Nomor 4 Tahun 2009 perlu ditampung dalam perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang perubahannya masuk dalam agenda Program Legislasi Nasional Tahun 2010-2014 sebagaimana pembahasan di Komisi III DPR-RI tanggal 2 Maret 2010.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam membacakan Pendapat Akhir Presiden mengemukakan Beberapa hal yang perlu untuk disampaikan dalam sidang Paripurna DPR-RI, yaitu:

  1. Penerbitan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 terkait dengan kewenangan Presiden yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa dalam hal ihwal kegentingan memaksa Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Hal ihwal kegentingan yang memaksa yang dimaksud dalam UUD bukanlah suatu keadaan negara dalam keadaan bahaya tetapi suatu keadaan sedemikian rupa di mana memerlukan tindakan cepat dari Presiden guna menyelamatkan jalannya berbagai aspek pemerintahan negara. Penerbitan Perppu merupakan hak subjektif Presiden untuk menyelamatkan suatu keadaan yang dianggap genting dan memaksa, jadi tidak boleh diobjektivisir kebijakan Presiden tersebut.
  2. Sebagaimana kita ketahui pada waktu diterbitkannya Perppu Nomor 4 Tahun 2009 terjadi kekosongan Pimpinan KPK sehingga kurang dari 3 (tiga) orang, karena itu untuk menyelamatkan lembaga tersebut dan sekaligus untuk menjaga kinerja dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang menjadi komitmen kita bersama, Presiden menerbitkan Perppu tersebut yang pada intinya mengatur mengenai pengangkatan Pimpinan KPK sementara karena pengangkatan melalui proses normal berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memerlukan waktu yang relatif lama kurang lebih 6 (enam) bulan. Dengan demikian, penerbitan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 sama sekali tidak dimaksudkan untuk melakukan intervensi terhadap independensi KPK apalagi untuk melemahkan kedudukan KPK.
  3. Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan mempunyai kedudukan yang sederajat dengan undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian, menjadi terang bahwa Perppu kedudukannya tidak sama dengan peraturan pemerintah karena menurut hierarki peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah kedudukannya berada di bawah Undang-Undang/Perppu.
  4. Pengajuan RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang kepada DPR-RI, merupakan kewajiban konstitusional Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Perppu harus mendapat persetujuan DPR-RI dalam persidangan berikut.
    Pemerintah dapat memahami alasan penolakan atau tidak diterimanya Perppu Nomor 4 Tahun 2009 karena telah terisinya kekosongan Pimpinan KPK yang ada saat ini, sehingga Perppu tersebut oleh Anggota Dewan dinilai sudah tidak relevan lagi.
  5. Dengan ditolaknya atau tidak disetujuinya Perppu Nomor 4 Tahun 2009, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perppu tersebut harus dicabut dan sejalan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pencabutan tersebut dilakukan melalui pengajuan RUU tentang Pencabutan Perppu yang juga dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.

Patrialis Akbar juga menegaskan bahwa RUU tentang Pencabutan Perppu yang diminta oleh Dewan Yang terhormat akan disampaikan Pemerintah dalam masa persidangan yang akan datang. Undang-Undang tentang Pencabutan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 nantinya akan berlaku pada saat Undang-Undang tersebut disetujui dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Sebelum menutup penyampaian Pendapat Akhir Presiden, Patrialis Akbar kembali menyatakan bahwa Pemerintah menghormati dan menyambut baik hasil keputusan yang menyatakan tidak menyetujui Penetapan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang, baik dalam Pembicaraan Tingkat I maupun Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR-RI .

Kirim Komentar

Kode Pengaman
Refresh

Link Terkait:

Gabung di Komunitas


Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan

Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 6 - 7 Jakarta Selatan
Telp. (021) 5221618 Fax. (021) 5265480
Email: admin @ djpp.info
www.djpp.info
www.djpp.depkumham.go.id