Kamis, 23 Desember 2010
   
Text Size

Eksistensi dan Prospek Pengaturan Perppu Dalam Sistem Norma Hukum Negara Republik Indonesia

Abstract

The Government Regulation in lieu of Law (also known as Perppu) is  a kind of legislation which reflecting a presidential power to solve an emergency situation. It should consider on Pancasila and the Indonesian Constitution Year of 1945 as the Basic Law (“Staatsfundamentalnorm”) and also being a consideration for the kind of legislation below. There are some legal problems concerning the existance and the function of The Government Regulation in lieu of Law. So, the reforming process of the Law Number 10 Year of 2004 concerning The Making of Legislation should accomodate a progressive ideas in frame of the existance and the function of The Government Regulation in lieu of Law, particularly, to search the solution of how to define “an emergency situation”.

(Perppu merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia yang merefleksikan kekuasaan eksekutif untuk mengatasi suatu “kegentingan yang memaksa”. Perppu sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan juga harus bersumber pada Pancasila dan UUDNRI 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan serta selayaknya juga dapat menjadi sumber hukum peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Namun, hingga saat ini masih terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan eksistensi dan fungsi Perppu. Oleh karena itu, proses revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan seyogyanya dapat menampung berbagai ide-ide progresif yang berkaitan dengan eksistensi dan fungsi Perppu, khususnya dalam mencari solusi mengenai pendefinisian “kegentingan yang memaksa”).

 Pendahuluan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia. Perppu dikonsepsikan sebagai suatu peraturan yang dari segi isinya seharusnya ditetapkan dalam bentuk undang-undang, tetapi karena keadaan kegentingan memaksa ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah[1]

Dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) disebutkan bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Jika mengacu pada rumusan ini maka jelaslah bahwa sejatinya Perppu merupakan suatu peraturan pemerintah, namun berfungsi sebagai undang-undang. Dengan demikian Perppu merupakan salah satu instrumen hukum yang dapat ditetapkan oleh Presiden tanpa memerlukan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Peran DPR dalam konteks Perppu baru terlihat pada Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUDNRI 1945 yang menegaskan bahwa “peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut” dan “jika tidak mendapatkan persetujuan maka peraturan pemerintah itu harus dicabut”.

Berbeda dengan undang-undang, masa berlakunya Perppu sangat singkat yakni sampai dengan persidangan DPR yang terdekat dengan tanggal penetapan Perppu tersebut. Setelah itu, diperlukan ketegasan sikap dari DPR apakah akan menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut. Pengajuan Perppu ke DPR dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan perppu tersebut menjadi undang-undang. Dalam hal DPR menyetujui perppu tersebut maka rancangan undang-undang tentang penetapan perppu tersebut menjadi undang-undang disahkan menjadi Undang-Undang, sedangkan jika Perppu itu ditolak oleh DPR maka Perppu tersebut tidak berlaku dan Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan Perppu tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.

Teori Perundang-undangan

Dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok, dimana suatu norma itu selalu berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (Staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia yaitu Pancasila[2]. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Dalam Penjelasannya, penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sedangkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hukum dasar negara merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar.

Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, Perppu juga harus bersumber pada Pancasila dan UUDNRI 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan serta selayaknya juga dapat menjadi sumber hukum peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Berdasarkan konsep bahwa Perppu merupakan suatu peraturan yang dari segi isinya seharusnya ditetapkan dalam bentuk undang-undang, tetapi karena keadaan kegentingan memaksa ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah maka kedudukan Perppu yang paling rasional dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah sejajar dengan undang-undang. 

Tolok Ukur “Kegentingan yang memaksa”

Hal yang selalu menjadi kontroversi hingga saat ini adalah ukuran mengenai “kegentingan yang memaksa” sebagai dasar politis dan sosiologis bagi pembentukan Perppu. Bahkan seringkali muncul pameo di masyarakat bahwa Perppu umumnya dibentuk bukan karena adanya kegentingan yang memaksa, melainkan karena adanya kepentingan yang memaksa. 

“Kegentingan yang memaksa” dapat digambarkan sebagai suatu kondisi yang abnormal yang membutuhkan upaya-upaya di luar kebiasaan untuk segera mengakhiri kondisi tersebut. Dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia seringkali terjadi peristiwa dan kondisi-kondisi yang bersifat abnormal, baik di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, bencana alam, dan sebagainya, dimana instrumen hukum positif yang ada seringkali tidak mampu berperan sebagai solusi. Dalam kondisi abnormal itu diperlukan adanya norma-norma hukum yang juga bersifat khusus, baik dari segi substansinya maupun proses pembentukannya, sehingga dalam kondisi-kondisi seperti itulah Perppu menjadi sangat diperlukan sebagai instrumen hukum laksana undang-undang yang berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat.

“Kegentingan yang memaksa” sebagai dasar pembentukan suatu Perppu tidaklah sama pengertiannya dengan “keadaan bahaya” yang dimaksud dalam Pasal 12 UUDNRI Tahun 1945, meskipun keduanya merupakan penjabaran yang lebih konkret dari kondisi darurat pada suatu sistem ketatanegaraan tertentu. Penentuan syarat-syarat dan akibat “keadaan bahaya” dalam Pasal 12 UUDNRI 1945 jelas memerlukan keterlibatan DPR untuk ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan “kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 UUDNRI Tahun 1945 sangat tergantung subyektivitas Presiden, meskipun nantinya tergantung pula pada persetujuan obyektif para wakil rakyat di DPR[3].

Dinamika sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia menunjukkan bahwa latar belakang penetapan Perppu oleh Presiden umumnya berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena ukuran “kegentingan yang memaksa” selalu bersifat multitafsir dan besarnya subyektivitas Presiden dalam menafsirkan frase “kegentingan yang memaksa” sebagai dasar untuk menetapkan Perppu.

Dalam teori-teori yang berkaitan dengan hukum tata negara darurat, disebutkan bahwa “kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22 UUDNRI Tahun 1945 lebih menekankan pada aspek kebutuhan hukum yang bersifat mendesak atau urgensi yang terkait dengan waktu yang terbatas. Setidaknya terdapat 3 (tiga) unsur penting yang dapat menimbulkan suatu “kegentingan yang memaksa”, yakni[4]:

  1. unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat);
  2. unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity); dan/atau
  3. unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.

Dari ketiga unsur di atas, unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat) lebih berorientasi pada Pasal 12 UUDNRI Tahun 1945, khususnya mengenai “keadaan bahaya”, meskipun ada pula Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat), contohnya yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dimana dalam Penjelasan Umumnya menegaskan bahwa penggunaan Perppu untuk mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme didasarkan pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai tempat telah menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta menimbulkan ketidakamanan bagi masyarakat, sehingga mendesak untuk dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang guna segera dapat diciptakan suasana yang kondusif bagi pemeliharaan ketertiban dan keamanan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hukum.

Contoh Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity) adalah Perppu Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, dimana kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang menetapkan bahwa mulai tahun 1430 Hijriyah jemaah haji dari seluruh negara (termasuk Indonesia) harus menggunakan paspor biasa (ordinary passport) yang berlaku secara internasional dijadikan sebagai ukuran “kegentingan yang memaksa”, sehingga Pemerintah Indonesia perlu melakukan upaya yang bersifat segera untuk menjamin tersedianya paspor dimaksud agar penyelenggaraan ibadah haji tetap dapat dilaksanakan.

Adapun contoh Perppu yang dilatarbelakangi oleh unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mengatur bahwa Anggota KPU yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetap melaksanakan tugasnya sampai dengan terbentuknya penyelenggara pemilihan umum yang baru. Hal ini mengingat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk menggantikan ketentuan yang saat ini berlaku yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Presiden berpendapat syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa telah terpenuhi untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Berdasarkan contoh-contoh Perppu di atas, nampaknya memang akan sangat sulit untuk memberikan tolok ukur yang pasti mengenai “kegentingan yang memaksa” sebagai dasar penetapan Perppu karena hal itu merupakan hak subyektif Presiden yang memang diamanatkan secara tegas dalam Pasal 22 UUDNRI Tahun 1945, meskipun nantinya diperlukan penilaian obyektif yang dilakukan bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah. Namun, dengan adanya 3 (tiga) unsur penting yang dapat menimbulkan suatu “kegentingan yang memaksa” yakni unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat), unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity); dan/atau unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia setidaknya diharapkan dapat membantu dalam memberikian definisi atau batasan pengertian mengenai “kegentingan yang memaksa”.

Perppu Dalam Perspektif Historis

Pengaturan mengenai eksistensi Perppu dalam konstitusi Republik Indonesia merupakan salah satu substansi yang tidak ikut diubah dalam proses amandemen Undang-Undang Dasar, sehingga eksistensi Perppu sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia secara esensial selalu diakui baik berdasarkan Pasal 22 UUD 1945, Pasal 139 ayat (1) Konstitusi RIS Tahun 1950, Pasal 96 ayat (1) UUDS 1950, maupun Pasal 22 UUDNRI Tahun 1945 hasil amandemen, meskipun tiap-tiap konstitusi tersebut pada masa berlakunya mengatur hal tersebut dalam rumusan yang berbeda. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa eksistensi Perppu dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia masih diperlukan dan tidak memerlukan perubahan apapun dari segi esensinya sebagai salah satu konsekuensi logis dianutnya sistem presidensiil dalam pemerintahan Negara Republik Indonesia. Namun, penempatan Perppu dalam hierarki peraturan perundang-undangan dari masa ke masa bersifat fluktuatif. Sejak lahirnya negara Republik Indonesia dengan Proklamasi kemerdekaannya sampai berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Sementara 1950, Undang-Undang Dasar 1945, dan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 masalah hierarki perundang-undangan tidak pernah diatur secara tegas[5]. Hierarki peraturan perundang-undangan mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950[6]. Dalam perkembangannya, pengaturan mengenai hierarki perundang-undangan diatur berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, hingga akhirnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sejarah penempatan Perppu dalam hierarki perundang-undangan secara lebih rinci dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 yaitu Peraturan tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang ditetapkan pada tanggal 2 Februari 1950

Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia

Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pasal 1

Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:

  1. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
  2. Peraturan Pemerintah,
  3. Peraturan Menteri.

 

 

Lampiran II

  1. BENTUK-BENTUK PERATURAN PERUNDANGAN
    1. Bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 ialah sebagai berikut:

-   Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,

-   Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

-   Peraturan Pemerintah,

-   Keputusan Presiden

Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:

-   Peraturan Menteri,

-   Instruksi Menteri,

-   dan lain-lainnya.

 

Pasal 2

Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya.

Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:

  1. Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
  3. Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  5. Peraturan Pemerintah;
  6. Keputusan Presiden;
  7. Peraturan Daerah.

Pasal  7

(1)    Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  3. Peraturan Pemerintah;
  4. Peraturan Presiden;
  5. Peraturan Daerah.

 

 

Berdasarkan tabel di atas, terlihat jelas bahwa Perppu merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang selalu terletak di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas Peraturan Pemerintah dan jenis peraturan perundang-undangan lainnya. Jika dibandingkan dengan Undang-Undang, Perppu kedudukannya sejajar dengan Undang-Undang, kecuali pada masa berlakunya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dimana kedudukan Perppu berada di bawah Undang-Undang. Dalam lintasan sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia, situs www.legalitas.org yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, setidaknya mencatat bahwa terdapat 22 (dua puluh dua) Perppu sejak Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 (LN Nom. 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya, sedangkan menurut dokumentasi Pusat Informasi Hukum Indonesia yang dikelola oleh Mahkamah Konstitusi RI (www.mahkamahkonstitusi.go.id) terdapat 35 (tiga puluh lima) Perppu sejak Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 (LN Nom. 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya.  

Perppu pasca Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Dengan mengacu pada Pasal 22 UUDNRI maka dapat dipahami bahwa Perppu memiliki fungsi, materi muatan, dan hierarki yang sama dengan Undang-Undang, meskipun proses pembentukan di antara keduanya berbeda.

Pasal 24 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, dan rancangan peraturan presiden diatur dengan Peraturan Presiden”.

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, saat ini telah berlaku Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. Dalam BAB V Perpres tersebut (Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38) ditegaskan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden memerintahkan penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Tugas penyusunan itu dibebankan kepada menteri yang tugas dan tanggungjawabnya meliputi materi yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. Menteri yang ditugaskan berkoordinasi dengan Menteri dan menteri/pimpinan lembaga terkait. Setelah Perppu ditetapkan oleh Presiden, menteri yang ditugaskan dibebankan pula tugas untuk menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang nantinya akan disampaikan kepada DPR sesuai dengan Pasal 25 dan Pasal 26 Perpres ini.

Dengan mengacu pada Pasal 25 dan Pasal 26 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden maka eksistensi suatu Perppu tergantung pada ada atau tidaknya persetujuan DPR terhadap pembentukan Perppu tersebut. Dalam hal DPR memberi persetujuan terhadap Perppu tersebut maka hal itu dilakukan dengan cara mengesahkan RUU tentang Penetapan Perppu (tersebut) menjadi undang-undang, sedangkan jika DPR menolak Perppu tersebut maka Presiden mengajukan RUU tentang pencabutan Perppu tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut. 

Apakah Perppu dapat memuat ketentuan pidana?

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa “Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang”. Jika mengacu pada pola pikir yang terkandung dalam ketentuan pasal ini maka materi muatan Perppu juga berisi hal-hal tercantum dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sama seperti materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang, termasuk pula dapat memuat ketentuan pidana. Pola pikir ini dapat diuji rasionalitasnya dengan argumentasi bahwa Perppu dibentuk dalam kondisi ketatanegaraan yang abnormal, sedangkan Undang-Undang dibentuk dalam kondisi yang normal, sehingga materi muatan Perppu seyogyanya berbeda dengan materi muatan Undang-Undang.

Salah satu perbedaan yang seharusnya muncul antara Perppu dan Undang-Undang adalah hendaknya Perppu tidak memuat ketentuan pidana dengan alasan bahwa Perppu dibuat untuk menghadapi kegentingan yang memaksa (tidak berorientasi jangka panjang) dan tidak melibatkan parlemen sebagai unsur perwakilan rakyat dalam proses pembentukannya[7]. Pencantuman suatu ketentuan pidana sangat berkaitan dengan prinsip-prinsip asas legalitas. Dalam teori hukum pidana, salah satu aspek penting mengenai asas legalitas adalah dirumuskannya suatu ketentuan perundang-undangan pidana melalui proses legitimasi yang demokratis ke dalam undang-undang dalam arti formal[8]. Dalam teori ilmu perundang-undangan, Undang-Undang dalam arti formal adalah norma-norma hukum yang selalu dibentuk oleh suatu lembaga legislatif[9]. Hal inilah yang mendasari adanya ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa “Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah”, sehingga menjadi jelaslah bahwa seyogyanya Perppu tidak dapat memuat ketentuan pidana karena Perppu tidak termasuk dalam kategori norma-norma hukum yang dibentuk oleh suatu lembaga legislatif. Namun, Dalam lintasan sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia, banyak terdapat Perppu yang memuat ketentuan pidana, antara lain Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya dan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Peraturan Pemerintah Laksana Undang-Undang

Penulis juga berpendapat bahwa istilah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) perlu diganti menjadi Peraturan Pemerintah Laksana Undang-Undang (PPLU)  karena:

  1. Secara esensial, Perppu adalah suatu Peraturan Pemerintah yang (berfungsi) menggantikan undang-undang dalam suatu kondisi ketatanegaraan yang abnormal seperti adanya suatu kegentingan yang memaksa;
  2. Perppu tidak selalu berfungsi mengganti undang-undang, tetapi seringkali Perppu hanya mengubah (menambah atau mengurangi) norma-norma hukum dalam suatu undang-undang, bahkan Perppu juga seringkali muncul dengan norma hukum yang baru sama sekali yang sebelumnya belum pernah tercantum dalam peraturan perundang-undangan 

 

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang harus ada dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia sebagai salah satu konsekuensi logis dianutnya sistem presidensiil dalam pemerintahan Negara Republik Indonesia yang eksistensinya selalu dipertahankan sepanjang sejarah konstitusi di Indonesia.
  2. Tolok Ukur mengenai “Kegentingan memaksa” sebagai landasan dasar politis dan sosiologis bagi pembentukan Perppu harus ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan.
  3. Proses revisi terhadap Undang-Undang Nomor 10 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hendaknya dapat menjadi sarana untuk mengakomodir pemikiran-pemikiran progresif mengenai eksistensi dan pengaturan Perppu dalam sistem norma hukum Republik Indonesia.

end note
----------------------------------- 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ashiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara Darurat, Edisi ke-1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.

Farida Indrati S., Maria. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (Buku 1), Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Kanisius, 2007.

Guza, Afnil (editor). Tiga UUD Republik Indonesia, Cet.ke-6, Jakarta: Asa Mandiri, 2006. 

Makalah

Termorshuizen-Arts, Marjanne. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Belanda. Makalah yang disampaikan pada Ceramah Hukum Pidana, “Same Root, Different Development”, FHUI Depok, 3-4 April, 2006.

Peraturan Perundang-undangan  

Republik Indonesia,Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

-------, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya.

-------, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

-------, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

-------, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

-------, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

-------, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.

 

Website

www.legalitas.org

www.mahkamahkonstitusi.go.id

 


[1]  Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Edisi ke-1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 3.

[2]  Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (Buku 1), Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit Kanisius, 2007, hlm. 57.

[3] Cora Hoexter mengistilahkan hal ini sebagai “objective wording” (Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hlm. 12-13).

[4] Jimly Ashiddiqie, Op. Cit. hlm. 207-208.

[5] Ibid, hlm. 69.

[6] Ibid, hlm. 70.

[7] Pasal 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan: “Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah

[8] Baca: makalah DR. Marjanne Termorshuizen-Arts, Asas legalitas Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Belanda) yang disampaikan pada Ceramah Hukum Pidana, “Same Root, Different Development”, FHUI Depok, 3-4 April, 2006. Dalam makalah itu dijelaskan pula bahwa terdapat 4 aspek penting dalam asas legalitas hukum pidana, yakni:

  1. lex certa, lex scripta, dan lex stricta,
  2. dilegitimasi secara demokratis,
  3. perlindungan kepada warganegara dari bahaya perilaku sewenang-wenang penguasa, dan
  4. larangan berlaku surut.   

 

[9] Maria Farida Indrati S., Op.Cit. hlm. 52.

Kirim Komentar

Kode Pengaman
Refresh

Gabung di Komunitas


Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan

Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 6 - 7 Jakarta Selatan
Telp. (021) 5221618 Fax. (021) 5265480
Email: admin @ djpp.info
www.djpp.info
www.djpp.depkumham.go.id