Kamis, 15 Juli 2010
   
Text Size

Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap UU Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/PUU-VII/2009 tentang permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

PADA hari Senin tanggal 19 April 2010 sembilan orang Hakim Konstitusi secara bergantian membacakan Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.  Pengujian Undang-Undang tersebut diajukan oleh sebelas pemohon yaitu Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (DEMOS), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), K.H. Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan KH. Maman Imanul Haq.

Menurut para Pemohon Pasal 1, Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama berpotensi merugikan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Tetapi adapula pihak-pihak yang menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama harus tetap dipertahankan, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), Persatuan Islam (Persis), Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP), Yayasan Irena Centre, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ittihadul Mubalighin, Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren se-Madura (BASSRA), Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam (DPP FPI), Pimpinan Pusat (PP) Al Irsyad Al Islamiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, Forum Umat Islam (FUI), Dewan Masjid Indonesia.

Didalam Putusan perkara ini, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan bahwa dari sudut pandang HAM, kebebasan beragama yang diberikan kepada setiap manusia bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dan kebebasan an sich, melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab sosial untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang, sehingga negara memiliki peran sebagai penyeimbang antara hak asasi dan kewajiban dasar untuk mewujudkan HAM yang berkeadilan. Negara memiliki peran untuk memastikan bahwa dalam pelaksanaan kebebasan beragama seseorang tidak melukai kebebasan beragama orang lain. Di sinilah negara akan mewujudkan tujuannya yakni untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (the best life possible), dan UU Pencegahan Penodaan Agama tidak sedikitpun mematikan kemajemukan agama yang ada dan tumbuh di Indonesia, karena semua penganut agama mendapat pengakuan dan jaminan perlindungan yang sama. Adapun pernyataan dan penyebutan agama-agama dalam penjelasan tersebut hanyalah pengakuan secara faktual dan sosiologis keberadaan agama-agama di Indonesia pada saat UU Pencegahan Penodaan Agama dirumuskan, dan penafsiran terhadap suatu ajaran atau aturan tertentu merupakan kebebasan berpikir setiap orang. Tafsir dapat memberikan keyakinan terhadap sesuatu hal, sehingga tafsir dapat mengarah kepada kebenaran maupun berpotensi kepada terjadinya kesalahan. Walaupun penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum, namun penafsiran tersebut haruslah berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan yaitu kitab suci masing-masing, sehingga kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolut. Tafsir yang tidak berdasarkan pada metodologi yang umum diakui oleh para penganut agama serta tidak berdasarkan sumber kitab suci yang bersangkutan akan menimbulkan reaksi yang mengancam keamanan dan ketertiban umum apabila dikemukakan atau dilaksanakan di muka umum.

Dalam Putusan tersebut ada Hakim Konstitusi Harjono memiliki alasan berbeda (concurring opinion), sedangkan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Adapun alasan Harjono adalah  bahwa rumusan Pasal 1 Undang-Undang a quo mengandung kelemahan dan untuk mengatasi kelemahan tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan revisi Pasal 1 Undang-Undang a quo oleh lembaga pembuat Undang-Undang, tetapi dengan dasar asas kemanfaatan sambil menunggu penyempurnaan yang dilakukan oleh pembuat Undang-Undang, maka untuk sementara waktu Undang-Undang a quo perlu dipertahankan. Sedangkan Hakim Maria Farida Indrati berpendapat bahwa Undang-Undang a quo merupakan produk masa lampau, yang walaupun berdasarkan Aturan Peralihan Pasal I Undang-Undang Dasar 1945 secara formal masih mempunyai daya laku (validity), namun secara substansial mempunyai berbagai kelemahan karena adanya perubahan yang sangat mendasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal-pasal yang menyangkut hak-hak asasi manusia.

 

Download Ringkasan Putusan:

Kirim Komentar

Kode Pengaman
Refresh

Gabung di Komunitas


Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan

Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 6 - 7 Jakarta Selatan
Telp. (021) 5221618 Fax. (021) 5265480
Email: admin @ djpp.info
www.djpp.info
www.djpp.depkumham.go.id