Kamis, 15 Juli 2010
   
Text Size

Forum Dialog Interaktif Penafsiran Undang-Undang

Jakarta, 29-30 April 2009. Forum dialog Interaktif ini dilaksanakan berdasarkan kerangka kerjasama MOU antara Departemen Hukum dan HAM RI dengan Departemen Kejaksaan Agung Australia. Pengalaman di Australia dalam penafsiran peraturan tertulis, khususnya difokuskan pada penyusunan dan penafsiran definisi-definisi dan tentang UU Penafsiran perundang-undangan 1901 (Acts Interpretation Act/AIA). Persoalan yang signifikan di Indonesia adalah keseragaman penafsiran atas peraturan perundang-undangan, dan perlu ditegaskan bahwa sejak awal saya sama sekali tidak bermaksud menganjurkan agar Indonesia menyusun sebuah Undang-Undang Penafsiran Perundang-undangan. Bahkan di Australia, sebuah Undang-Undang Penafsiran Perundang-undangan hanyalah sekedar alat yang digunakan oleh penyusun rancangan peraturan dan penyusun kebijakan untuk menyusun rancangan peraturan perundang-undangan serta penafsirannya.

Pemaparan hari ini antara lain meliputi:
a.   pengalaman Australia menggunakan Undang-Undang Penafsiran Perundang-undangan;
b.   apa yang dimaksud dengan AIA;
c.   mengapa kami membuat AIA;
d.   manfaat pentingnya AIA di Australia;
e.   isi AIA;
f.    kapan sebuah topik harus dimasukkan dalam AIA;
g.   hubungan antara AIA dengan hukum turisprudensi (common law);
h.   bagaimana menyusun rancangan peraturan perundang-undangan menggunaka AIA; dan
i.    bagaimana penyusun naskan manggunakan AIA dalam menafsirkan.

DR. Siddharta (Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara) dalam makalahnya: ”Kerangka Teoritis Penafsiran Undang-Undang – Penalaran  Hukum” memaparkan mengenai penalaran hukum adalah kegiatan berpikir problematis dari subyek hukum (manusia) sebagai mahkluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Sekalipun demikian, penalaran hukum tidak mencari penyelesaian ke ruang-runag yang terbuka tanpa batas. Ada tuntutan bagi penalaran hukum untuk juga menjamin stabilitas dan prediktabilitas dari putusannya dengan mengacu kepada sistem hukum positif. Demi kepastian hukum, argumentasi yang dilakukan harus mengikuti asas penataan, sehingga putusan-putusan hakim antara hakim yang satu dengan yang lainnya dalam mengadili kasus serupa relatif terjaga konsistensinya (asas similia similibus).

Pemaparan oleh para Narasumber diantaranya adalah Prof. Dr. Bagir Manan, S.H.,MCL. (Ketua Mahkamah Agung RI) dalam makalahnya yang berjudul: ”Penafsiran Undang-Undang dalam Praktek Peradilan memaparkan mengenai penafsiran itu merupakan konsekuensi dari kita membentuk hukum tertulis. Salah satu kelemahan hukum tertulis adalah merupakan gambaran/situasi yang ada pada saat itu. Seorang sarjana Inggris dalam bukunya ”Modern Constitution” mengatakan bahwa undang-undang/konstitusi itu suatu gambaran dari faktor-faktor dominan yang ada pada waktu itu (politik, sosial, budaya) sehingga akibatnya adalah perlu ada proses adaptasi. Pada umumnya kodifikasi itu umumnya dibuat oleh ahli-ahli yang duduk dibelakang meja sehingga jauh dari realitas sosial di masyarakat.

Walau hukum tertulis, terlepas dari banyak kelemahan tapi sekarang merupakan suatu tren di dunia bahkan pada common law sekalipun. Binding sistem sangat dinamis namun dalam keadaan tertentu binding sistem bisa sangat konservatif. Pada binding sistem, hakim dalam memutus perkara harus melihat pada putusan-putusan hakim terdahulu.

Kemudian paparan oleh A.A. Oka Mahendra, S.H. (Staf Ahli Menteri, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) dengan judul: ”Penafsiran Undang-Undang Dari Perspektif Penyelenggara Negara”. Beliau mengatakan bahwa pembentuk Undang-Undang harus membentuk Undang-Undang yang mengandung keadilan. Undang-undang yang berisi norma hukum yang bersifat umum dan abstrak hanya mengatur secara garis besar hal-hal yang wajib dilakukan (obligattere), yang dilarang dilakukan (prohibere) dan yang boleh dilakukan (permittere). Rincian operasionalnya diatur lebih lanjut oleh penyelenggara pemerintahan yang lebih mengetahui bagaimana melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Dalam berbagai undang-undang selalu terdapat pendelegasian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut sesuatu hal dengan peraturan pemerintah atau peraturan presiden.

Dr. Isnaeni Ramdhan, S.H.,M.H. (Staf Ahli DPR, Universitas Pancasila) dengan judul: “Peranan DPR Dalam Menjaga Konsistensi Penafsiran Undang-Undang”. Beliau memaparkan antara lain: dari perspektif politik tentunya kita mengetahui latar belakang anggota dewan yang ada didalamnya berapa yang mempunyai latar belakang hukum, jadi bisa dibayangkan betapa repotnya jika dikaitkan dengan menjaga konsistensi penafsiran ini. Konstelasi politik memperlihatkan bahwa dari hasil pemilihan umum kemarin terdapat beberapa orang artis dan pelawak yang mendapatkan kursi, hal ini tentu akan berpengaruh pada performanya nanti pada saat sidang (pada saat melontarkan ide-ide) mengingat latar belakangnya bisa di anggap tidak serius. Dari perspektif politik kita khawatir bahwa dari hasil pemilihan kemarin timbul asumsi bahwa itulah cerminan dari rakyat Indonesia.

Disamping itu, forum-forum dialog seperti ini harus sering dilakukan karena forum semacam ini merupakan media kita untuk bertemu saling bertukar pikiran dan pengalaman termasuk didalam kesamaan dalam menafsirkan berbagai hal yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Termasuk menghilangkan ego sektoral yang sering muncul, sebagai contoh; wajib angkut; penafsirannya berbeda-beda antar instansi terkait seperti di penerbangan, perkeretaapian, jalan tol itu bisa berbeda. Hal inilah yang harus dikurangi dalam rangka menjaga konsistensi penafsiran itu sendiri, sebaiknya instansi teknis saja yang boleh memberikan definisi/penafsiran terhadap satu subjek. Terakhir peran akademisi sangat diharapkan dalam rangka menjaga dan mengawal konsistensi penafsiran itu sendiri, jangan sampai kepentingan sektoral yang menonjol.

Komentar  

 
#1 Mohon penjelasan penafsiran UU No. 12 Tahun 2008Octa Maryo 14 Juni 2010 14:55
Mohon penjelasan penafsiran UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahenan Kohoedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Pasal 63 ayat (2)[n /b]secara benar.Hal ini yang menjadi polemik tertundanya pelaksanaan Pemilu Kada di Kabupaten Tolitoli Propinsi Sulawesi Tengah, KPU Pusat dua kali mengeluarkan SK yg pertama tanggal 27 Mei 2010 ( meloloskan ) dan kemudian dianulir melalui SK yang kedua tanggal 29 Mei 2010 ( menggugurkan )salah satu kandidat nomor urut 1 yang calon wakil bupatinya meninggal dunia pada tanggal 26 Mei 2010
Quote
 

Kirim Komentar

Kode Pengaman
Refresh

Gabung di Komunitas


Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan

Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 6 - 7 Jakarta Selatan
Telp. (021) 5221618 Fax. (021) 5265480
Email: admin @ djpp.info
www.djpp.info
www.djpp.depkumham.go.id