Kamis, 02 Agustus 2012
   
Text Size

Pembahasan RUU tentang Keimigrasian di DPR-RI

RUU tentang Keimigrasian yang sejak tahun 2005 telah mulai diprogramkan masuk dalam prioritas pembahasan di DPR-RI, baru pada tahun 2010 ini akan dibahas secara intensif di DPR-RI. Pada tahun 2010 ini, RUU tentang Keimigrasian telah disampaikan kembali untuk dibahas kepada Pimpinan DPR-RI oleh Presiden pada tanggal 23 Februari 2010 dengan surat Nomor R-16/Pres/2/2010.

Memasuki awal pembahasan pada hari ini (Selasa, 27 April 2010), pada Rapat Kerja Komisi III dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pembahasan atas RUU tentang Keimigrasian akan membicarakan:

  1. Penjelasan Presiden terhadap RUU tentang Keimirasian;
  2. Pandangan Fraksi-fraksi terhadap RUU tentang Keimigrasian; dan
  3. Pembentukan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Patrialis Akbar yang mewakili Presiden, pada kesempatan pertama, menyampaikan bahwa arus globalisasi yang terjadi dewasa ini telah menyebabkan terjadinya perubahan di berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk bidang keimigrasian. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap kebijakan nasional di bidang keimigrasian dengan cara melakukan penyempurnaan undang-undang di bidang keimigrasian. Lebih lanjut, Patrialis Akbar menyampaikan bahwa beberapa pokok pikiran yang melandasi penyusunan RUU tentang Keimigrasian yang telah disusun oleh Pemerintah adalah:

  1. Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan pelaksanaan penegakan kedaulatan atas wilayah negara Republik Indonesia dalam rangka menjaga ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Adanya perjanjian-perjanjian internasional atau konvensi-konvensi internasional yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi keimigrasian.
  3. Meningkatnya kejahatan internasional dan transnasional seperti imigran gelap, penyelundupan orang, perdagangan manusia, terorisme, narkotika, dan pencucian uang.
  4. Pengaturan mengenai deteni dan batas waktu terdeteni belum dilakukan secara komprehensif.
  5. Fungsi dan tugas keimigrasian yang spesifik dan bersifat universal, dalam pelaksanaannya memerlukan pendekatan sistematis dengan pemanfaatan teknologi informasi yang modern, serta adanya struktur keimigrasian yang memungkinkan dapat bertindak secara langsung agar pelaksanaan fungsi dan tugas keimigrasian lebih efektif dan efisien untuk hal-hal yang bersifat teknis substantif, sehingga penegasan mengenai jabatan fungsional keimigrasian dan penempatan pejabat imigrasi di setiap perwakilan Republik Indonesia adalah sangat signifikan.
  6. Hak kedaulatan negara dalam penerapan prinsip timbal balik (resiprocal) pemberian visa terhadap warga negara asing.
  7. Adanya kesepakatan dalam rangka harmonisasi dan standarisasi sistem dan jenis pengamanan surat perjalanan secara internasional, khususnya regional Asean Plus dan juga upaya penyelarasan atau harmonisasi tindakan atau ancaman pidana terhadap para pelaku sindikat yang mengorganisir imigran gelap.
  8. Mengingat penegakan hukum keimigrasian selama ini belum efektif sehingga pencantuman pidana minimum terhadap pelanggaran ketentuan keimigrasian adalah sangat signifikan.
  9. Kepentingan untuk memperluas dan menjaring subyek yang merupakan pelaku tindak pidana keimigrasian, antara lain: orang perorangan, korporasi, dan penjamin atau orang yang memfasilitasi masuknya orang asing ke wilayah negara Republik Indonesia yang melanggar ketentuan keimigrasian.


Berdasarkan pokok-pokok pikiran tersebut, menurut Patrilis Akbar beberapa substansi baru yang diatur dalam RUU tentang Keimigrasian secara garis besar adalah:

  1. Hak Setiap Warga Negara Indonesia
    Setiap warga negara Indonesia (WNI) berhak melakukan perjalanan keluar dan masuk wilayah Indonesia. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghormati hak asasi manusia (HAM), sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  2. Fungsi dan Pelaksanaan Keimigrasian
    Fungsi keimigrasian dilaksanakan oleh Pemerintah dan untuk melaksanakan fungsi tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan keimigrasian yang pelaksanaannya dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM. Untuk melaksanakan tugas keimigrasian, pada setiap kabupaten, kota, atau kecamatan dapat dibentuk Kantor Imigrasi. Selain Kantor Imigrasi, di ibukota negara, provinsi, kabupaten/kota, dapat dibentuk Rumah Detensi.

  3. Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia
    Setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku dan bagi orang asing yang masuk wilayah Indonesia wajib memiliki visa yang sah dan masih berlaku. Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi berperan dalam melakukan pemeriksaan dan pengawasan orang yang masuk dan keluar wilayah Indonesia.
    Pengaturan mengenai masuk dan keluarnya orang dari atau ke wilayah Indonesia, meliputi pula pengaturan mengenai kewajiban bagi penanggung jawab alat angkut. Untuk membatasi yuridiksi pemeriksaan, diatur pula mengenai Area Imigrasi yakni suatu area tertentu untuk melakukan pemeriksaan keimigrasian dan merupakan area terbatas yang hanya dapat dilalui oleh penumpang atau awak alat angkut yang akan keluar atau masuk wilayah Indonesia atau pejabat dan petugas yang berwenang.

  4. Pencegahan dan Penangkalan
    Selain berwenang dan bertanggung jawab melakukan pencegahan di bidang keimigrasian, Menteri Hukum dan HAM juga melaksanakan pencegahan berdasarkan keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung, permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, dan permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional. Untuk memberikan perlindungan hukum bagi orang yang dicegah, yang bersangkutan dapat melakukan keberatan.
    Demi keamanan dan ketertiban umum, Menteri Hukum dan HAM berwenang pula melakukan penangkalan bagi seseorang yang masuk ke wilayah Indonesia. Pejabat yang berwenang dapat meminta kepada Menteri Hukum dan HAM untuk melakukan penangkalan. Jangka waktu penangkalan dipersingkat menjadi 6 (enam) bulan.
    Penangkalan terhadap WNI tidak diberlakukan karena bertentangan dengan HAM dan prinsip perlindungan negara terhadap warga negara.

  5. Visa, Izin Masuk, dan Izin Tinggal
    Dalam bagian ini diatur mengenai jenis visa dan kepada siapa visa dapat diberikan dan kepada siapa visa tidak dapat diberikan. Termasuk pengaturan mengenai orang asing yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki visa, izin masuk bagi orang asing yang telah memenuhi persyaratan untuk masuk ke wilayah Indonesia. Bagi orang asing yang berada di wilayah Indonesia, diwajibkan memiliki izin tinggal. Dalam bagian ini diatur mengenai jenis dan macam izin tinggal.

  6. Dokumen Perjalanan Republik Indonesia
    Dokumen Perjalanan Republik Indonesia dalam RUU ini meliputi Paspor Republik Indonesia (sebagai dokumen negara) dan Surat Perjalanan Laksana Paspor (sebagai dokumen resmi).
    Paspor Republik Indonesia terdiri atas:
    a. Paspor Diplomatik;
    b. Paspor Dinas; dan
    c. Paspor Biasa.

    Surat Perjalanan Laksana Paspor terdiri atas:
    a.  Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk warga negara Indonesia;
    b.  Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk orang asing;
    c.  Surat Perjalanan Lintas Batas atau Pas Lintas Batas.

    Dalam bagian ini diatur pula mengenai siapa yang dapat memperoleh Paspor dan Surat Perjalanan Laksana Paspor, beserta persyaratannya.

  7. Pengawasan Keimigrasian
    Menteri melakukan pengawasan Keimigrasian yang meliputi:
    a.  pengawasan terhadap WNI yang memohon dokumen perjalanan, keluar atau masuk wilayah Indonesia, dan yang berada di luar wilayah Indonesia.
    b.  pengawasan terhadap lalu lintas orang asing yang masuk atau keluar  wilayah Indonesia, serta pengawasan terhadap keberadaan dan kegiatan orang asing di wilayah Indonesia.

    Dalam rangka melakukan pengawasan terhadap orang asing, Menteri Hukum dan HAM membina hubungan kerja sama dengan badan atau instansi pemerintah terkait dan bertindak selaku koordinator pengawasan orang asing. Untuk menegakkan pengawasan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi, diatur pula mengenai Tindakan Administratif Keimigrasian dan pengaturan mengenai Rumah Detensi Imigrasi. Rumah Detensi Imigrasi dapat juga berfungsi sebagai cabang Rumah Tahanan Negara tempat penahanan tersangka tindak pidana keimigrasian.

    Dalam bagian ini diatur pula fungsi dan peran serta keimigrasian dalam rangka mendukung terwujudnya perlindungan kepada korban tindak pidana perdagangan orang dan penyelundupan migran.

  8. Kewenangan Penyidik Keimigrasian
    RUU ini memberikan penguatan terhadap kewenangan Penyidik Keimigrasian yang semula hanya meliputi:
    a. menerima laporan tentang adanya tindak pidana keimigrasian;
    b. memanggil, memeriksa, menggeledah, menangkap, menahan seorang yang disangka melakukan tindak pidana keimigrasian;
    c. memeriksa dan/atau menyita surat‑surat, dokumen‑dokumen, Surat Perjalanan, atau benda‑benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana keimigrasian;
    d. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;
    e. melakukan pemeriksaan di tempat‑tempat tertentu yang diduga terdapat surat‑surat, dokumen‑dokumen, Surat Perjalanan, atau benda‑benda lain yang ada hubungannya dengan tindak  pidana keimigrasian;
    f.  mengambil sidik jari dan memotret tersangka,

    Selain itu diberikan tambahan kewenangan, berupa:
    1. mencari keterangan dan alat bukti;
    2. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
    3. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
    4. menahan, memeriksa, dan menyita dokumen perjalanan;
    5. menyuruh berhenti orang yang dicurigai atau tersangka dan memeriksa identitas dirinya;
    6. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
    7. meminta keterangan dari masyarakat atau sumber-sumber yang berkompeten;
    8. melakukan penghentian penyidikan; atau
    9. mengadakan tindakan lain menurut hukum.

    Di samping itu, Penyidik keimigrasian yang telah selesai melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian tersebut wajib menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada penuntut umum.

  9. Ketentuan Pidana
    Subyek yang dikenai pidana diperluas, antara lain meliputi: penanggung jawab alat angkut, penjamin atau sponsor, deteni atau orang asing penghuni rumah detensi, dan orang asing yang melakukan perkawinan semu. Namun, terdapat pula perbuatan yang sebelumnya dikategorikan tindak pidana keimigrasian dilakukan dekriminalisasi menjadi tindak pelanggaran keimigrasian yang bersifat administratif, misalnya: orang asing pemegang izin tinggal yang telah berakhir masa berlakunya dan masih berada dalam wilayah Indonesia lebih dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu izin tinggal dikenakan tindakan administratif keimigrasian berupa deportasi dan penangkalan. Pelanggaran semacam ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Di samping itu, beberapa perbuatan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian ditingkatkan pidananya dalam rangka memberikan efek jera. Pemidanaan tidak hanya kepada orang perseorangan, melainkan juga dapat dijatuhkan kepada korporasi.

Setelah penyampaian Penjelasan Presiden terhadap RUU tentang Keimigrasian yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM, acara kemudian dilanjutkan untuk mendengarkan Pandangan Fraksi-fraksi terhadap RUU tentang Keimigrasian yang disampaikan oleh wakil dari masing-masing fraksi.

Komentar  

 
#3 kacau 05 May 2011 09:44
kacau bagi saya sebagai orang indonesia tentang orang asing yg menikah dengan WNI perempuan diberikan hak untuk bekerja nantinya persaingan hidup saya semakin sulit. Sesama orang Indonesia saja, saya sudah merasa sulit apalagi nanti jika ditambah orang asing lagi. capek dehh...
lama-lama orang asing juga bisa menjadi menarik becak atau tukang pangkas di Indonesia nihhh.
wah... kacau ni yang buat undang-undang.....tidak mikir kedepan nanti efeknya..
Quote
 
 
#2 KTP Palsu 16 Januari 2011 19:23
Mau tanya Pak, apabila WNA mempunyai KTP Tembak atau Palsu...apakah sanksinya? dan kemana kita laporkan jika menemukan masalah seperti ini?
Terima kasih
Quote
 
 
#1 sanksi identitas palsu 21 Juli 2010 13:51
saya ingin menanyakan Pak,apakah bila seseorang membuat paspor/visa dengan identitas palsu & dokumen pendukung palsu (cth: KTP palsu ) dapat dikenakan sanksi hukum? Apa sanksi hukumnya ? sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas jawabannya.
Quote
 

Kirim Komentar

Kode Pengaman
Refresh

Gabung di Komunitas


Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan

Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 6 - 7 Jakarta Selatan
Telp. (021) 5221618 Fax. (021) 5265480
Email: admin @ djpp.info
www.djpp.info
www.djpp.depkumham.go.id