

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK
NOMOR 1/PUU-VIII/2010
Kamis (24/2/2011) di Ruang Sidang Pleno MK, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian terhadap pengujian materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dalam putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010, yang dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan.
Dalam pertimbangan hukum, anak dapat dikategorikan sebagai “Anak Nakal” bukan merupakan proses tanpa prosedur dan dapat dijustifikasi oleh setiap orang. Pemberian kategori “Anak Nakal” merupakan justifikasi yang dapat dilakukan melalui sebuah proses peradilan yang standarnya akan ditimbang dan dibuktikan di muka hukum. dengan perubahan batasan usia minimal pertanggungjawaban hukum bagi anak adalah 12 (dua belas) tahun maka Mahkamah berpendapat hal tersebut membawa implikasi hukum terhadap batas umur minimum (minimum age floor) bagi Anak Nakal (deliquent child) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan, “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”. Oleh karenanya, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun Pasal a quo tidak dimintakan pengujiannya oleh para Pemohon, namun Pasal a quo merupakan jiwa atau ruh dari Undang-Undang Pengadilan Anak, terutama Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU pengadilan Anak, sehingga batas umur minimum juga harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, yakni 12 (dua belas) tahun.
Selain itu, Pasal 23 ayat (2) huruf a UU Pengadilan Anak telah memberikan sejumlah alternatif pidana bagi anak nakal selain pidana penjara yakni pidana kurungan, pidana denda atau pidana pengawasan. Dalam hal ini, keberadaan pidana penjara bukan merupakan satu-satunya pilihan pidana bagi anak sehingga tidak secara mutlak dapat merugikan hak konstitutional anak. Kemudian, Pasal 31 ayat (1) merupakan penegasan keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Anak dan keharusan aparat penegak hukum untuk tidak menempatkan anak nakal yang dinyatakan bersalah di Lembaga Pemasyarakatan bagi orang dewasa. Keberadaan Pasal a quo telah mempertegas keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai wadah pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja bagi Anak Nakal yang diputus menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
Dalam pembacaan Putusan tersebut, terdapat Anggota Hakim Konstitusi yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu: M. Akil Mochtar, yang berpendapat bahwa seharusnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 2 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sepanjang frasa, ” ... maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”.
Komentar
Anak dibawah umur sebiknya maksimal dikenakan hukuman kurungan atau bila nanti RUU KUHP dibahas kembali, buat aturan hukum sosial untuk anak dibawah umur yang dikelola Kementerian Sosial.
RSS feed for comments to this post.