Rabu, 12 May 2010
   
Text Size

RPP tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah

Rapat pemantapan konsep Rancangan Peraturan Pemerintah dilaksanakan pada tanggal 20 April 2010 di Kementerian Hukum dan HAM yang dihadiri wakil dari Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Bank Indonesia, LKPP, Bappenas, dan Sekretariat Negara.

Pembahasan dimulai dengan Pasal 35 dengan berbagai usulan yang diajukan oleh peserta rapat. Usulan diawali oleh perwakilan dari kementerian Keuangan yang mengatakan tidak keberatan apabila pembayaran dilakukan melalui BI karena hal tersebut tidak mempengaruhi proses dan esensinya.

Selanjutnya mengenai biaya tranfer dalam penjelasan tidak perlu dimasukkan karena dapat menjadi justifikasi karena biaya tersebut pada dasarnya dapat berkembang. Mengenai usulan BI ayat (2) baru sebaiknya tidak perlu diatur disini karena ayat (1) sudah mengatur hal tersebut, dan juga pada ayat (4) baru tidak diperlukan karena selama ini sudah berjalan demikian sehingga tidak perlu diatur disini. Apabila ada biaya transfer, tidak akan dibebankan pada APBN. Menindaklanjuti hal tersebut perwakilan dari KumHAM menyatakan bahwa hal-hal mengenai biaya-biaya biasanya telah ada dalam pasal perjanjian.

Pada kesempatan yang sama A.A Oka Mahendra mengatakan bahwa ayat (4) baru yang diatur dalam RUU memang harus jelas, misalnya apabila menimbulkan biaya transfer, maka BI akan menanggungnya melalui pos mana? Aturan dalam RPP ini sebaiknya ditulis secaea rigid karena merupakan aturan pelaksanaan.

Wakil dari Bappenas menyatakan apakah biaya yang dimaksud pada ayat (1) apakah sama dengan biaya yang dimaksud pada ayat (4) baru ?, maka berkaitan dengan hal tesebut perwakilan dari BI menjelaskan mengenai biaya pada ayat (4) baru, sepakat utk dihapus tidak perlu diatur dalam RPP ini karena bersifat teknis.

Pada pembahasan mengenai Trust Fund, Bappenas memberikan masukan pada definisi trust fund dalam ketentuan umum dihapuskan, sehingga sebaiknya definisi trust fund ini dimasukkan dalam penjelasan ayat (1). Disarankan juga untuk wali amanah langsung disebutkan Kementerian Keuangan, Bappenas. Selain itu, diusulkan adanya penambahan satu ayat yaitu ayat (2) yang berbunyi "Kementerian/lembaga dapat mengusulkan untuk membentuk dana perwalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan".

Ketentuan lebih lanjut mengenai dana perwalian ini diatur oleh Peraturan setingkat Menteri karena bersifat teknis. Rekan DJPU menanggapi mengenai wali amanat ini apakah akan menitikberatkan dari sisi kelembagaannya atau dari sisi dananya ? karena selama ini  mengenai dana masuk dalam kementerian keuangan dan berjalannya sudah dapat berkoordinasi, dan apabila maksudnya adalah pembentukkan kelembagaan baru, apakah dapat diatur dalam RPP ini?

Poin yang di dapat sebagai  maksud pengaturan trust fund dalam RPP ini adalah sebagai wadah yang bentuknya adalah tim. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah mengenai pembentukkan lembaga ini nantinya akan bertanggung jawab kepada siapa ?
berkaitan dengan hal tersebut, Bappenas mengemukakan bahwa dalam RPP ini hanya akan mengatur trust fund yang selama ini telah ada akan tetapi belum ada dasar hukumnya. Kementerian Keuangan menyatakan juga apabila tidak diamanatkan secara rinci kewenangan trustee, maka akan ditafsirkan kewenangan trustee tersebut sama dengan MenKeu dikarenakan trustee ini nantinya dipilih oleh Menkeu. Oleh karena itu dalam RPP ini akan mendelegasikan ke Permenkeu agar dapat diatur lebih rinci lagi.

Pada ketentuan peralihan untuk trustfund yang telah ada menurut Bappenas perlu ada ketentuan peralihan untuk trustfund yang saat ini ada. Untuk pemutihan. Dengan terbitnya PP ini Trustfund yang saat ini ada tetap berjalan. Hal ini untuk pengesahan. DJPU menyatakan kesan ingin melegalisasi trustfund-trussfund atau pemutihan untuk juga yang trustfund yang gak jelas. Apakah perlu dalam PP ini untuk melegalisasi. Wadah trustfund hanya dalam satu wadah saja. Dari rekan DJPU menyatakan untuk wadah trustfund hanya dalam satu wadah saja tapi juga bisa untuk pengelolaan APBN. Rekan dari Bapenas juga mengatakan hal yang sama karena jika hal ini berbeda-beda karena tematik ada yang climate change, untuk government. Ini bukan lembaga tetap tapi temporer. Pocut Eliza, perwakilan dari KumHAM menyatakan bahwa nanti hal tersebut diatur dalam Peraturan Presiden. Berkaitan dengan hal tersebut rekan dari Bappenas mempertanyakan siapa yang pemrakarsa Penyusunan Peraturan Presiden?

Kementerian Dalam Negeri memberikan klarifikasi mengenai ruang lingkup pengaturan dari RPP ini, apakah hanya akan mengatur pusat saja atau daerah juga akan diatur?
Apabila akan mengatur daerah juga, maka disitu terdapat pengelolaan keuangan daerah. Lantas apa kriteria peraturan yang mendelegasikan secara langsung? Hal ini terkait dengan konsideran mengingat. Pemaparan KumHAM adalah RPP ini hanya yang terkait di pusat, makna tetapi dalam substansi RPP ini juga mengatur masuk ke rekening daerah. Mengenai pendelegasian pasal 38 UU Nomor 1 Tahun 2004, mendelegasikan penerusan utang atau hibah ke daerah, judul RPP ini tidak sinkron dengan bunyi pendelegasian tersebut. Dalam RPP ini juga mengatur ke perencanaan melalui RPJMD yang merupakan kewenangan pengaturan dalam Perda.

Untuk itu sebaiknya disepakati dulu pengaturan RPP ini akan bagaimana, karena dalam substansi RPP banyak yang menyangkut daerah, karena dalam Bab Hibah sudah membahas mengenai penatausahaan hibah. Mengenai pinjaman daerah, dalam PP 54 ada aturan mengenai koordinasi antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Akan tetapi dalam RPP ini tidak diatur mengenai koordinasi tersebut, dalam Pasal 28 ayat (5) diambil dari Pasal 64 UU Nomor 33 Tahun 2004. Ini berarti tidak hanya UU Nomor 1 Tahun 2004 sebagai pendelegasian. Pocut Eliza juga menyatakan bahwa tidak hanya keterkaitan, tetapi ada saja ketentuan peraturan perencanaannya.

Selanjutnya pada Pasal 7, apakah pinjaman luar negeri dapat diterus pinjamkan untuk BUMD ? Dalam PP 54, pinjaman daerah dapat diberikan apabila APBD defisit. Dalam hal apa BUMD dapat menerima pinjaman daerah ? Apabila BUMD gagal bayar, lalu siapa yang dapat bertanggung jawab? Ada dalam aturan Pasal 38 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2004. PP Nomor 54 Tahun 2005 belum eksplisit mengatur mengenai hal tersebut. Akan tetapi  dalam RPP revisinya ada aturan mengenai hal tersebut. Apabila Pemda atau BUMD akan melakukan pinjaman, harus melalui Pemerintah Daerah. Berkenaan dengan PD Kebersihan, Pemda saat itu akan mengambilalih untuk merestrukturisasi pinjaman apabila BUMD tidak dapat merestrukturisasi.

Penerus pinjaman ke BUMD, bagaimana status di APBD nya ? menurut rekan dari KumHAM RPP ini memang harus ada keterkaitan dengan pinjaman daerah, sehingga tidak bisa langsung berhenti pengaturannya karena penerus pinjaman ke BUMN/BUMD nantinya melalui Pemda saja, sehingga tidak perlu disebut langsung disini. Untuk pengaturan dalam UU menggunakan garis miring adalah ada kesejajaran antara Pemda dengan BUMN dan BUMD. Sehingga BUMD dapat meminjam secara langsung. lantas apabila BUMD colapse, siapa yang akan bertanggung jawab ? sehingga sebaiknya tetap harus melalui Pemda agar dapat di take over.

A.A Oka Mahendra mengatakan bahwa ada aturan yang berbeda antar penerus pinjaman kepada Pemda dan penerus pinjaman kepada BUMD. Penerus pinjaman kepada BUMD mekanismenya harus melalui Pemda. Berkaitan dengan hal tersebut rekan dari Bappenas menyatakan bahwa sebenarnya yang terpenting adalah harus disepakati dahulu substansinya. Dalam UU posisi BUMD setara, akan tetapi dalam RPP ini dan dalam pelaksanaannya tidak setara. Filosofi RPP ini adalah menempatkan penerus pinjaman ke BUMD adalah dibawah kendali Pemda. Berarti Pasal 3 tidak konsisten dengan Pasal 18 dan Pasal 21. Menurut Kemenkeu pada Pasal 7 ayat (1) huruf c juga sebaiknya kata "diterus hibahkan" dihapus karena pengaturan dalam UU tidak mengatur hal tersebut. Akhirnya Pasal 7 ditunda sementara ini, karena akan dibawa ke rapat pleno utk dilaporkan pada pimpinan masing-masing. Pasal 3, Pasal 55, Pasal 65-67 terkait dengan Pasal 7. Pasal 18 dan Pasal 21 tidak ada masalah. Substansi sudah disepakati.

Pada Pembahasan Pasal 24, LKPP memberikan tanggapan Ayat (4) huruf c kata "meminta" diubah dengan kata "mendapatkan". Apakah proses utk mendapatkan pertimbangan tersebut bersifat mutlak ? BI juga mengutarakan untuk persyaratan pinjaman seperti apa yang harus meminta pertimbangan MenKeu ? menurut rekan dari Kemdagri bahwa Ayat (4) huruf c bukankah syarat pembiayaan sudah masuk dalam perjanjian? Pengaturan ini apakah tidak terlalu luas karena menyangkut barang dan jasa juga. Pengaturan ini bukan mengatur mengenai tata cara pengadaan barang. Akan tetapi pengadaan barang dan jasa tersebut terkait dengan pembiayaan yang terkait dengan utang.

Sebaiknya pengaturan barang dan jasa ini tidak perlu diatur dalam RPP ini. Hal ini terkait dengan pengadaan barang dan jasa yang biayanya belum ada sehingga pembiayaannya melalui utang. Pengadaan khusus pembiayaan perlu konsultasi lagi, akan tetapi dapat dijadikan acuan utk pemilihan supplier. MenKeu di sini bukan dalam posisi mengatur mengenai batang dan jasa, kaan tetapi salah satunya pencariaan dana utk pembiayaan dan pemilihan supplier. Rekan dari KumHAM menyatakan Terkait dengan pinjaman luar negeri yang di PMN kan apakah cukup dengan dasar hukum PP 44. Mekanisme APBN itu luas. PMN ada mekanismenya sendiri. Harus melalui DPR, bukan RPP ini. PMN tersebut telah dialokasikan terlebih dahulu, yang anggarannya dimasukkan dalam APBN. Jadi bukan merupakan kewenangan Pemerintah sendiri.

Menurut Perwakilan dari Kemenkeu berdasarkan pengalaman, pernah ada kementerian lembaga memilih sendiri supliernya kemudian diajukan ke MenKeu, padahal harganya terlalu tinggi, sedangkan dananya belum tersedia. Hal tersebut menambah beban APBN. Akhirnya atas kesepakatan, kata "Pemerintah Daerah" dihapus yang terkait dengan ECA. Mengenai usulan dari perwakilan Kemdagri terkait dengan Pasal 19 ayat (1), usulannya adalah agar memperoleh pertimbangan dari Kementerian Dalam Negeri dan juga Pasal 13 ayat (1) sebaiknya digabung dengan Pasal 20. Tetapi menurut peserta rapat tidak perlu digabung karena mekanismenya berbeda. Selanjutnya menekankan pada Pasal 19 ayat (3), agar mendapat pertimbangan dari Kementerian Dalam Negeri. Pada Pasal 28 ayat (5), bagaimana apabila gagal bayar apakah akan dikenakan sanksi seperti tsb. Walaupun given dari UU 33 apakah tidak dapat diperbaiki. Pada Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 36 konsisten, disesuaikan dengan UU. Mengenai judul, bukan tata cara lagi melainkan pengelolaan karena terkait dengan pengadaan barang dan jasa dan pengaturan monef.

Tataran RPP ini cukup perencanaand an pengadaaan saja. Apabila sudah membahas lebih dari itu, maka terlalu luas. Pengadaan terkait persiapan sampai monetary. Judul tata cara ini sudah cukup mengakomodir mengenai kegiatan pinjaman luar negeri dan hibah. Selain itu RPP ini merupakan aturan kembali dan perbaikan rumusan dari PP 2 dimana mengatur mengenai tata cara. Bappenas menyatakan dari sisi perencanaan, monef dan perencanaan merupakan satu kesatuan utuh. Monef akan menjadi feed back dari perencanaan.

Pembahasan selanjutnya juga mengenai Pasal 68 Bappenas menyatakan Ada usulan ayat mengenai rekonsiliasi data sebelum dibuat laporan. Atas kesepakatan, Usulan ini akan dilaporkan ke pleno. Karena mengenai joint report pertanggung jawaban akuntabilitas kepada masyarakat akan lebih mudah. dengan catatan bahwa laporan monitoring dan evaluasi dilakukan secara terpisah antara MenKeu dan Kepala Bappenas.

Kirim Komentar

Kode Pengaman
Refresh

Gabung di Komunitas


Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan

Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 6 - 7 Jakarta Selatan
Telp. (021) 5221618 Fax. (021) 5265480
Email: admin @ djpp.info
www.djpp.info
www.djpp.depkumham.go.id